Responsive image

Abenomics, Draghinomics, dan Harapan Perubahan Pemikiran Kebijakan Ekonomi Nasional

Adhamaski | Opini | Tuesday, 23 September 2014

Adanya kondisi krisis terkadang bukan saja membawa bencana, tapi juga melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Sejarah dunia mencatat, ketika terjadi depresi ekonomi pada tahun 1930an, lahir pemikiran ekonomi baru yang dibawa oleh John Maynard Keynes. Pemikiran Keynes tersebut pada akhirnya bukan saja membawa Amerika Serikat keluar dari krisis ekonomi berkepanjangan, tapi juga menawarkan alternatif kebijakan baru dalam mengelola perekonomian.

Begitu pula ketika terjadi krisis ekonomi global pada tahun 2008 yang dampaknya menyebar keseluruh penjuru dunia. Tidak sedikit para pemimpin perekonomian baru dunia (baik pemimpin negara maupun pemimpin bank sentral) yang menawarkan pemikiran baru dalam lansekap ekonomi dunia. Sebut saja Shinzo Abe (Perdana Menteri Jepang) dan Mario Draghi (Gubernur ECB/ Bank sentral Eropa), para pemimpin perekonomian dunia yang menawarkan alternatif kebijakan ekonomi baru.

Dimulai dari Shinzo Abe yang pada tahun 2012 memperkenalkan grand desain reformasi ekonomi Jepang. Kebijakan reformasi ekonomi tersebut kemudian dikenal sebagai Abenomics yang memiliki tiga ‘panah’ utama. Panah pertama ialah kebijakan moneter yang agresif dengan target inflasi sebesar 2%, depresiasi mata uang yen, dan kebijakan quantitative easing (QE). Panah kedua ialah kebijakan fiskal ekspansif dalam bentuk peningkatan public spending hingga 2% dari PDB Jepang. Sedangkan panah ketiga ialah reformasi structural untuk meningkatkan daya saing jepang.

Shinzo Abe tentu tidak main-main dengan rumusan kebijakan barunya. Abenomics diharapkan dapat mengakhiri stangansi ekonomi yang dialami oleh Jepak sejak awal tahun 1990an, serta sebagai upaya untuk mengeluarkan ekonomi Jepang keluar dari dampak krisis ekonomi global 2008. Abenomics kemudian menjadi inspirasi bagi Gubernur Bank Sentral Eropa terpilih, Mario Draghi, untuk mengakhiri resesi di Eropa. Resep ekonomi dari Mario Draghi ini kemudian dikenal sebagai Draghinomics.

Draghinomics banyak disebut sebagai Abenomics-nya Eropa. Resesi berkepanjangan dihadapi oleh benua biru tersebut membutuhkan upaya-upaya yang tidak business as usual untuk memecahkan masalah.

Kalau abenomics menggunakan istilah panah, draghinomics menggunakan istilah elemen untuk menunjukkan orientasi kebijakannya. Elemen pertama dari draghinomics ialah mengakselerasi perubahan structural untuk mempercepat pertumbuhan output potensial di benuar Eropa. Elemen kedua berorientasi untuk menguragi ketergantungan pertumbuhan ekonomi melalui konsolidasi fiskal sembari mempertahankan defisit yang rendah dan keberlanjutan penambahan hutang besar.Elemen terakhir, yang serupa dengan Abenomics, ialah memberlakukan quantitative easing untuk memdorong pertumbuhan kredit dan sektor swasta.

Ketidakpastiaan global dan belum tercapainya titik keseimbangan baru dunia sejak terjadinya krisis ekonomi 2008 tentu berpengaruh, baik positif maupun negatif, bagi Indonesia. Salah satu pengaruhnya bagi Indonesia ialah semakin derasnya pelarian modal dari negara maju ke negara-negara berkembang. Tapi sayangnya, momentum pelarian modal ke Indonesia, tidak banyak yang kemudian bertransformasi untuk menyelesaikan pelbagai persoalan-persoalan struktural. Alhasil, hingga hari ini, Indonesia masih menjumpai pelbagai persoalan-persoalan struktural klasik, seperti rendahnya pendidikan dan keterampilan tenaga kerja, tidak berkembangnya sektor-sektor tradeable, lemah dan masih kurangnya infrastruktur (termasuk infrastruktur dasar), dsb.

Harapan baru untuk menyelesaikan pelbagai persoalan tersebut datang ketika terjadi perubahan kepemimpinan politik. Sejarah dunia telah mencatat bahwa kehadiran pemimpin politik dapat membawa perubahan, termasuk dibidang ekonomi. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa, pergantian kepemimpinan politik saja tidak cukup, perlu adanya pemimpin yang visioner agar mampu menghadirkan perubahan. Salah satunya ialah membawa pemikiran-pemikiran baru, termasuk pemikiran baru dalam pengelolaan ekonomi. Kalau Jepang dan Eropa mampu membawa perubahan pemikiran baru, kita harapkan pergantian kepemimpinan politik di Indonesia juga dapat membawa perubahan pemikiran baru.