Responsive image

Makroprudensial dan Kredit UMKM

| Article | Thursday, 04 November 2021

Sejarah mencatat bahwa UMKM dapat bertahan pada krisis 1998. Namun, pada krisis pandemi kali ini, UMKM jatuh tersungkur. Tentu, hal ini karena perbedaan akar krisis. Pasalnya, krisis yang disebabkan pandemi Covid-19 membuat mobilitas masyarakat terbatas, sehingga berdampak terhadap kegiatan usaha, termasuk UMKM

Sebagaimana diketahui bahwa UMKM berperan strategis dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional meski di tengah pande mi Covid- 19. UMKM berkontribusi lebih dari 60% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 96% tenaga kerja. Lagi-lagi, UMKM menunjukkan ketangguhannya.

Menimbang peran UMKM yang begitu besar, berbagai stimulus digelontorkan pemerintah agar UMKM dapat survive hingga pada akhirnya dapat bangkit kembali dan melakukan ekspansi. Salah satunya dengan memberikan bantuan dana bergulir di berbagai ke menterian, bantuan dana dari BUMN, dan memberikan kredit ber subsidi (Kredit Usaha Rakyat/KUR).

Stimulus UMKM

Kredit perbankan meningkat sebesar 0,5% (year on year) pada Juni 2021, meneruskan tren perbaikan selama beberapa bulan terakhir seiring berjalannya stimulus pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan otoritas terkait. Ragam strategi dan langkah dijalankan demi membantu sang pahlawan ekonomi.

Selaras dengan kebijakan yang sudah dijalankan, Bank Indonesia juga berkontribusi mendorong tum buh kembang UMKM melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/13/PBI/2021 Tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah, yang dikeluarkan Bank Indonesia pada 31 Agustus 2021. Peraturan ini bertujuan mendorong inklusi keuangan/ perbankan yang ditandai oleh meningkatnya penyaluran kredit kepada UMKM oleh perbankan.

Melalui PBI Nomor 23/13/ PBI/2021, BI mewajibkan bank memenuhi Rasio Pembiayaan In klusif Makroprudensial dengan ke tentuan paling sedikit 20% pada posisi akhir Juni 2022 dan posisi akhir Desember 2022, lalu paling se dikit sebesar 25% pada posisi akhir Juni 2023 dan posisi akhir De sember 2023; dan paling sedikit se besar 30% sejak posisi akhir Juni 2024.

Untuk memenuhi rasio tersebut, bank memberikan pembiayaan inklusif berupa pemberian kredit (kepada UMKM, Koperasi dan atau PBR) atau pembiayaan secara langsung dan rantai pasok; pemberian kredit atau pembiayaan melalui lembaga jasa keuangan, badan layanan umum, dan/atau badan usa ha; pembelian SBPI; dan/atau pembiayaan inklusif lainnya yang ditetapkan oleh BI.

BI juga menerapkan sanksi kepadabank apabila tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut, seperti sanksi administratif berupa teguran dan denda. BI telah menunjukkan itikad baiknya dalam mendorong tumbuh kembangnya UMKM di Indonesia. Hanya saja, sejauhmana aturan ini akan efektif?

Kelemahan

Sesuai PBI Nomor 23/13/ PBI/2021, untuk memenuhi rasio sesuai ketentuan tersebut, bank-bank bisa memilih melakukan pem belian SBPI yang diharapkan uangnya bisa menjadi sumber pendanaan bergulir untuk pembiayaan inklusif. Hal ini hanya me ngatasi permasalahan di sisi pena waran, dengan asumsi permasalahan pokok berupa rendahnya inklusi keuangan terletak di sisi penawaran.

Padahal kita ketahui permasalahan inklusi keuangan tidak semata dari sisi penawaran. Persoalan di sisi permintaan juga sangat besar. Rendahnya inklusi keuangan tidak bisa lepas dari rendahnya literasi keuangan masyarakat. Hal ini kemudian menyebabkan usaha mikro dan ultramikro tidak bankable. Sehinga permintaan kredit pun juga menjadi rendah.

PBI Nomor 23/13/PBI/2021 tidak mempertimbangkan aspek karakteristik bisnis, level kom petensi, infrastruktur, dan risk appetite ma sing-masing individu bank yang tidak seluruhnya dapat me nyalurkan kredit pada segmen UMKM. Implementasi PBI No 23/13/ PBI/2021, terutama pengenaan sanksi finansial, akan menambah beban biaya bagi bank. Saat ini perbankan mengalami tekanan profitabilitas dan potensi peningkatan risiko dari kondisi debitur yang be lum pulih sepenuhnya.

Dengan argumentasi di atas, kebijakan BI mendorong inkluasi keuangan dengan mewajibkan bank memenuhi rasio pembiayaan inklusi makro prudensial tidak akan cukup efektif memperbaiki tingkat inklusi keuangan di Indonesia. Tidak ada jaminan bahwa pencapaian Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial sebesar 30% pada Juni 2024 mencerminkan inklusi keuangan Indonesia yang jauh lebih baik.

Opsi Lain

Perlu dipertimbangkan opsi lain untuk mendorong penyaluran kredit UMKM. BI dapat memberikan insentif dan disinsentif dari monetary tools bank sentral. Untuk bank yang mencapai penyaluran kredit UMKM, BI memberikan insentif penurunan Giro Wajib Mi nimum (GWM). Sedangkan yang tidak mencapai, dikenakan disinsentif kenaikan GWM.

Adapun untuk penyaluran kreditnya sendiri bisa diperluas tidak hanya memperhitungkan pembiaya a n langsung, tetapi juga mekanisme rantai pasok. Penyaluran kredit kepada usaha-usaha yang ber peran dalam rantai pasok UMKM diperhitungkan sebagai kredit UMKM.