Responsive image

Daya Tarik Investasi Nikel

Risa Tamadhika Fajar Ramadhan | Article | Monday, 01 March 2021

Capaian realisasi investasi Indonesia 2020 menjadi kabar gembira di tengah pandemi. Menariknya adalah investasi asing pada manufaktur merupakan yang terbesar di tahun itu.

Padahal, sejak 2018 investasi yang bersifat padat modal biasanya lebih diminati investor asing. Pada saat kondisi ekonomi sedang kurang baik, justru investasi asing di manufaktur mampu tumbuh menyalip sektor lainnya.

Dilansir dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi untuk penanaman modal asing (PMA) pada sektor manufaktur di 2020 mencapai Rp 190,1 triliun atau tumbuh 32,7% secara tahunan. Beragam faktor menjadi pendorong tingginya realisasi PMA manufaktur. Salah satunya, yakni lesunya sektor jasa akibat pandemi yang tercermin dari penurunan investasi di dua sektor jasa terbesar: sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi dan sektor listrik, gas dan air.

Di sisi lain, beberapa industri yang memiliki porsi investasi cukup besar pada manufaktur mampu tumbuh tinggi. Seperti industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya serta industri kimia dan farmasi.

Pertumbuhan PMA di industri logam dasar adalah yang paling mencolok. Sepanjang tahun 2020, sektor ini mampu tumbuh hingga 53,9% secara tahunan. Melonjaknya angka investasi asing ini tidak lepas dari kebijakan hilirisasi tambang yang tengah dikebut oleh pemerintah.

Kelanjutan dari rencana hilirisasi tambang adalah kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah dan konsentrat. Dengan begitu barang tambang harus diproduksi dalam turunan agar memiliki nilai tambah. Sehingga diperlukan pembangunan pabrik pemurnian atau smelter untuk mendukung kebijakan tersebut.

Apabila meninjau asal investasi asing di industri logam dasar secara berurutan berasal dari China, Singapura dan Hong Kong. Bahkan share investasi ketiga negara tersebut di atas 90%.

Terdapat empat lokasi yang menjadi destinasi investasi negara-negara itu. Tiongkok banyak menanamkan modalnya di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Singapura ke Kepulauan Riau. Sedangkan Hong Kong banyak berinvestasi di Sulawesi Utara.

Persoalan nikel dan baterai

Tumbuhnya PMA di industri logam dasar tidak terlepas dari meningkatnya investasi pada komoditas nikel. Seperti yang diketahui, Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, namun produknya masih didominasi oleh bijih nikel sehingga kebijakan hilirisasi perlu diberlakukan. Selain itu, harga nikel dan permintaan yang tinggi juga turut menjadikan bisnis tambang nikel sebagai magnet baru bagi investor.

Nikel sendiri merupakan komponen dominan dalam baterai listrik. Tak dapat dimungkiri bahwa saat ini baterai sudah menjadi barang yang lebih penting, hal ini disebabkan beragam perangkat gawai hingga teknologi baru mobil listrik memerlukan peranti penyimpanan energi ini.

Indonesia memiliki peluang untuk menjadi salah satu produsen baterai terbesar di dunia. Tidaklah salah apabila banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya. Hal ini tercermin dari terdongkraknya harga-harga saham emiten tambang nikel, seperti di dua perusahaan, PT Vale Indonesia dan PT Aneka Tambang.

Kendaraan listrik dan baterai, tampaknya memang menjadi andalan pemerintah untuk menarik investor. Meskipun begitu, data terakhir dari Kementrian ESDM menunjukkan, produk turunan bijih nikel yang diproduksi smelter masih didominasi oleh FeNi (ferro nickel), NPI (nickel pig iron) dan nickel mattes.

Ketiga turunan tersebut berasal dari saprolite nickel (biji nikel kadar tinggi) yang lebih digunakan sebagai bahan baku pembuatan stainless steel dan diolah lebih lanjut untuk turunan lain. Sedangkan untuk membuat baterai listrik, yang diperlukan adalah turunan dari limonite nickel (bijih nikel kadar rendah).

Sejauh ini belum ada smelter di Indonesia yang mengolah limonite nickel. Seperti yang disampaikan oleh Arif S. Tiammar, seorang praktisi industri mineral dan metalurgi, bahwa belum ada hilirasi limonit secara komersial dan pengolahan saat ini masih terpaku pada teknologi pirometalurgi yang menghasilkan turunan dari bijih nikel kadar tinggi, sedangkan untuk mengolah limonite membutuhkan penggunaan teknologi hidrometalurgi.

Masih terfokusnya pengelolaan pada saprolite nickel juga terlihat pada ekspor FeNi yang tumbuh sampai 82% selama Januari-Oktober 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Jika melihat asal pelabuhan muat dari empat lokasi destinasi utama investasi asing di industri logam yaitu Kepulauan Riau, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Maluku Utara.

Muatan dari Sulawesi tengah adalah US$ 6,3 miliar atau yang terbesar, dengan pertumbuhannya 21,6% pada periode yang sama. Bahkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pertumbuhan ekspor melalui pelabuhan dari Sulawesi Tengah naik hingga 330,4%.

Meski kinerja ekspor sangatlah baik, namun pemerintah perlu mengingat bahwa sumber daya nikel ini bisa saja habis, sehingga perlu dikelola dengan cermat. Apalagi cadangan bijih nikel kadar tinggi hanya berkisar 930 juta ton, dibandingkan dengan cadangan bijih nikel kadar rendah yang jumlah mencapai 3,6 miliar ton.

Sayangnya titik ekstraksi masih sangat terfokus pada saprolite nickel dan perusahaan yang beroperasi dengan teknologi pirometalurgi jumlahnya sudah banyak. Di sisi lain, penggunaan teknologi hidrometalurgi untuk mengolah limonite nickel yang lebih relevan dengan pembuatan baterai listrik justru masih sedikit atau bahkan belum ada sama sekali.

Pemerintah setidaknya perlu melakukan dua hal. Pertama, memberlakukan hambatan ekspor untuk produk dari turunan saprolite nickel dan di saat yang bersamaan memberikan kelonggaran ekspor smelter yang memproduksi turunan limonite nickel.

Kedua, pemberian kuota penambangan atau produksi nikel pada periode tertentu, misal selama satu tahun atau lima tahun. Dari aturan ini diharapkan smelter mau mengadopsi teknologi hidrometalurgi dan mendorong produk turunan limonite nickel. Kemudian dengan adanya kuotasi dan diversifikasi penambangan dapat dimungkinkan jumlah ekstraksi sumber daya nikel bisa lebih proporsional.

Sumber daya nikel merupakan aset berharga bagi Indonesia. Pengembangannya untuk diolah lebih jauh memerlukan investasi. Oleh karena itu, keselarasan kebijakan, koordinasi antar lembaga serta ketepatan waktu implementasi menjadi faktor penting dalam mendorong pengembangan investasi produk turunan nikel yang berkesesuaian dengan target pemerintah.