Responsive image

Ekonomi Normal Baru

Azhar Syahida | Article | Tuesday, 28 April 2020

Siapa sangka perubahan raut muka ekonomi pada 2020 terjadi begitu cepat. Padahal, baru di pengujung tahun lalu, mayoritas ekonom memprediksi ekonomi 2020 akan jauh lebih baik daripada 2019. Namun, semua itu berubah seketika.

Hanya berselang beberapa pekan setelah temuan kasus SARS-CoV-2 di Wuhan, Cina, aktivitas ekonomi tak lagi normal. Ketidakpastian meningkat tajam. Pembatasan diterapkan di mana-mana. WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020.

Kenneth Rogoff (2020) menulis, krisis akibat pagebluk ini merupakan yang terburuk sejak satu setengah abad lalu. Keterangan Kenneth Rogoff itu sejalan dengan kalkulasi Hites Ahir, Nicholas Bloom, dan Davide Furceri, ekonom di IMF tentang indeks ketidakpastian global, yang kini, pada tiga bulan pertama 2020 mencapai 392,15. Nilai indeks itu adalah yang tertinggi sejak 1959.

Dalam kondisi krisis seperti ini, besaran gelombang ketidakpastian tentu tidak dapat diprediksi. Namun, jika kita mengikuti teori yang disajikan Pierre-Olivier Gourinchas (2020), yang harus dilakukan sekarang adalah mengendalikan persebaran pandemi.

Dan ini tampaknya sudah menjadi perhatian bersama di seluruh negara terdampak. Sebagai dampak ketidakpastian akibat pagebluk, aktivitas ekonomi mondial yang terbuhul dalam rantai pasokan global merasakan efek negatif yang signifikan.

Terutama produsen barang elektronik dan otomotif yang mayoritas berpusat di Cina, Jepang, Jerman, AS, dan beberapa negara lain. Misalnya hingga 2019, sebanyak 28 persen barang perantara untuk barang elektronik, komputer, dan optik dunia diproduksi di Cina.

Maka itu, tak salah jika Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memberikan insentif bagi perusahaan yang berkenan merelokasi pabriknya ke luar Cina. Ini strategi Jepang agar saat terjadi krisis di negara penting di dunia, produksi di negaranya tak terganggu.

Pembatasan mobilitas yang kemudian berimbas pada masalah produksi tentu memiliki implikasi sosial. Yakni, naiknya potensi kemiskinan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan yang tidak sanggup menanggung arus kas keuangan.

Selain itu, pagebluk yang menghendaki pembatasan mobilitas manusia dalam skala besar menyebabkan aktivitas ekonomi informal juga terhenti. Inilah kemudian yang membebani potensi lonjakan kemiskinan.

Oxfam (2020) menyebutkan, potensi lonjakan jumlah penduduk miskin dunia sekitar 547 juta jiwa dengan asumsi terjadi penurunan pendapatan 20 persen. Sementara itu, Bank Dunia (2020) menyebutkan, ada potensi kemiskinan baru 11,3 juta jiwa di kawasan East Asia Pasific.

Momentum

Sungguh pun begitu, dalam konteks nasional, kita tidak boleh hanya berpangku tangan. Sebaliknya, kita mesti memaknai krisis pagebluk ini sebagai tonggak kebangkitan negara dalam merekonstruksi ekonomi yang lebih berkeadilan.

Sebab, pascapandemi, tentu kita akan menghadapi satu kondisi normal baru yang belum sepenuhnya bisa dimengerti. Namun, di situlah tersimpan potensi kita membawa semangat keadilan. Dalam hal ini, Cina merupakan contoh yang baik. Yakni, Ketika virus SARS mewabah pada 2002-2003, Cina menjadikannya sebagai momentum mereformasi ekonomi dengan membangun infrastruktur ekonomi digital, yang kemudian hari meningkatkan pendapatan masyarakat secara signifikan (WEF, 2020).

Dalam konteks domestik, penulis melihat setidaknya ada tiga hal penting yang bisa dijadikan fokus setelah wabah mereda. Pertama, inilah saatnya kita mengurai ketimpangan yang nyatanya memperumit persoalan dalam situasi seperti ini.

Mengurai ketimpangan, dalam situasi normal, tentu tidak kita lakukan dengan bantuan sosial. Caranya, kita ciptakan struktur ekonomi yang memungkinkan masyarakat memegang kendali produksi. Misalnya, mendorong terbentuknya investasi-investasi berskala kecil dan sedang yang memungkinkan masyarakat terlibat langsung dalam proses produksi secara mandiri, juga merasakan dan menikmati hasilnya.

Kedua, pengaturan insentif di sektor pertanian. Kita memperoleh pembelajaran penting, dalam situasi yang pelik seperti sekarang, suatu negara membutuhkan kemandirian pangan. Maka itu, kita perlu mengatur sistem insentif yang memakmurkan dan menyejahterakan petani yang jumlahnya mencapai 34 juta jiwa. Sistem insentif yang baik bagi petani akan membangkitkan etos kerja.

Salah satu insentif bagi petani adalah penjaminan harga di tingkat petani. Hal ini diyakini akan menguatkan pendapatan masyarakat kelas menengah bawah, yang mayoritas rentan miskin dan sebagian besar adalah petani. Di samping itu, sistem insentif yang ditata baik juga dapat meminimalisasi arus pergerakan orang ke kota yang kerap terjebak pada sektor informal dan menyumbang angka kemiskinan kota (urban poor).

Ketiga, pembangunan lebih berkeadilan, yakni keluar dari pakem kebijakan konservatif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Maksudnya, proses pembangunan mesti dibalut etika keberlanjutan yang mengutamakan relasi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sebagai pembelajaran, merebaknya pandemi Covid-19 juga akibat ketidakseimbangan ekosistem lingkungan yang dieksploitasi berlebihan.

Akhirnya, di samping terus berupaya menahan laju persebaran pandemi Covid-19, kita mesti bersiap menghadapi ekonomi normal baru dan menjadikannya momentum reformasi ekonomi yang mampu memberikan sumbangan atas upaya pemerataan, kesejahteraan, kemakmuran, dan keberlanjutan.

*Artikel ini telah dimuat dalam Harian Republika pada 28 April 2020