Responsive image

Langkah Penting Sektor Perbankan Dalam Mendorong Bisnis UMKM di Masa Pandemi

| Article | Wednesday, 15 July 2020

Pada 15 Juli 2020, Core Indonesia menyelenggarakan webinar dengan tema “Langkah Penting Sektor Perbankan dalam Membantu UMKM di Masa Pandemi,” yang menghadirkan tiga pemateri, yaitu: Piter Abdullah (Direktur Riset Core Indonesia), Enny Sri Hartati (Pengamat Ekonomi), dan Sunarso (Dirut BRI).

Menurut Piter Abdullah, wabah Covid-19 telah membatasi kegiatan ekonomi sehingga berdampak pada penurunan, bahkan terhentinya cashflow banyak pelaku usaha. Sementara, di sisi lain, pengeluaran mereka tetap berlangsung. Akibatnya, banyak dari mereka yang mengalami defisit cashflow atau kekeringan likuiditas. Oleh karena itu, menurut Piter, ketahanan dan keberlangsungan sektor riil dan stabilitas sektor keuangan menjadi penentu keberhasilan Indonesia untuk menghindari krisis pada masa ini.

Respons kebijakan pemerintah, menurut beliau, saat ini relatif cukup lengkap, seperti upaya percepatan penanganan wabah, peningkatan daya tahan usaha dan sektor keuangan, dan peningkatan social safety net. Khusus untuk anggaran Program Pemulihan Ekonomi untuk UMKM 123 triliun. meskipun demikian, beberapa diantaranya relatif terlambat, khususnya burden sharing pembiayaan defisit antara Kementerian Keuangan dengan Bank Indonesia. OJK juga penting untuk membantu sektor keuangan, seperti kejelasan regulasi mengenai restrukturisasi kredit, pemberian subsidi suku bunga, dan sebagainya.

Beliau juga menekankan bahwa pada masa pandemi, perlu adanya sinergi antara semua pemangku kepentingan. Salah satu contohnya, realisasi anggaran yang relatif lambat. Hal seperti ini semestinya ditangani dengan cepat sehingga anggaran yang berhasil diperoleh oleh Kementerian Keuangan dapat segera disalurkan ke sektor riil sehingga dapat menggerakkan kegiatan ekonomi, termasuk UMKM.

Sementara itu, Enny Sri Hartati, banyak menyoroti kebijakan pemerintah yang kurang bersesuaian dengan kebutuhan UMKM. Persoalan utama UMKM adalah permodalan, pemasaran, dan bahan baku.

“Upaya pemerintah untuk membantu UMKM di masa pandemi semestinya harus in-line dengan masalah utama yang dihadapi UMKM tersebut. Namun, bantuan pemerintah tampak campur aduk dan kurang fokus. Hal ini terlibat pada jenis bantuannya, yaitu Bantuan Sosial (Rp110T), insentif pajak (Rp28T), stimulus kredit (Rp34T), dan pinjaman modal kerja baru (6T).

Karakter dan kondisi UMKM saat ini tidak sesuai dengan bantuan tersebut. Sebagai contoh, pemberian insentif pajak juga bermasalah sebab sebagian besar UMKM adalah usaha mikro yang tidak memiliki masalah dengan perpajakan. Sebagian besar program relaksasi dan restrukturisasi masih cukup rendah. Semestinya adalah kreasi program yang konkrit yang dihadapi oleh UMKM.

“Problem utama UMKM bukan masalah likuiditas tetapi pemerintah lebih banyak untuk mengatasi likuiditas. Dengan demikian, antara target dan program tidak nyambung. Akibatnya, banyak UMKM yang mengeluhkan rendahnya realisasi program yang direncanakan pemerintah” ujar Enny.

Karena itu, Enny memberikan beberapa rekomendasi untuk membantu UMKM di masa pandemi ini.

“Pemerintah dapat membantu mereka beradaptasi terhadap perubahan di tengah pandemi, seperti melakukan shifting dan beradaptasi dengan perilaku konsumen. Selain itu, perlu membantu mereka memacu kreativitas dan inovasi mereka, seperti memperbaiki kemasan produk, mengelola database customers. Hal lainnya adalah memberlakukan kebijakan yang berpihak kepada UMKM seperti sharing peran UMKM pada retail modern, misalnya supply 20 persen produk UMKM, dan pengadaan barang yang mengutamakan produk-produk UMKM. Pemerintah juga dapat meningkatkan akses UMKM pada dunia digital dan memberikan akses mendapatkan pembiayaan.

Sementara itu, Direktur Utama BRI, Sunarso, menyatakan bahwa krisis pada tahun 2020 ini, lebih baik dibandingkan dengan krisis 1998, 2008, 2013. Permodalan sektor perbankan, yang ditunjukkan oleh CAR relatif lebih kuat. Tingkat NPL secara umum juga relatif rendah. Industri keuangan, baik regulator dan pelaku, saat ini lebih siap dalam menghadapi fluktuasi bisnis, baik bullish maupun bearish.

Sunarso juga menyatakan bahwa di masa pandemi ini diakui terjadi perubahan-perubahan regulasi pemerintah, termasuk di sektor keuangan. Namun, hal ini bisa dimaklumi lantaran adanya trauma terhadap krisis, sehingga dibutuhkan aturan-aturan yang luar biasa, yang tidak dipersoalkan di kemudian hari. Memang pada awalnya ada aturan yang tidak applicable, namun pada akhirnya aturan-aturan regulator menjadi lebih yang workable.

Ia mencontohkan, saat ini terdapat beberapa regulasi mulai dari PMK 65 dan 70 yang lebih jelas dalam mengatur sektor perbankan dalam membantu sektor riil dalam mengatasi persoalan likuiditas mereka.

“PMK 65 mengatur subsidi bunga KUR dan UMKM, yang merupakan respons atas permintaan masyarakat yang menuntut relaksasi kredit secara nyata. Kemudian, pada PMK 70, bank-bank pemerintah menerima likuiditas sebesar Rp30 triliun, dimana likuiditas itu harus disalurkan dalam bentuk kredit dengan tiga sampai empat kali lipat.”

“BRI sendiri telah menerima Rp10 triliun dan hingga 15 Juli telah disalurkan sebesar Rp13 triliun kepada 296 ribu nasabah.”

Selain itu, mantan Dirut Pegadaian itu juga menegaskan bahwa karakteristik UMKM pada dasarnya lebih membutuhkan edukasi dan pendampingan seperti spirit entrepreneur, manajemen keuangan, akses pasar dan teknologi, dan berbisnis dengan GCG yang benar. Selain itu, itu perlu dikembangkan monetasi death capital seperti tanah dan ternak.

“Perlu misalnya didirikan lembaga yang khusus mensertifikasi ternak-ternak yang dapat dijadikan sebagai jaminan,” ujar Sunarso.

 

 

Penulis: Muh. Ishak R. (Ekonom CORE Indonesia)