Responsive image

Mitigasi Pelebaran Defisit Anggaran

Yusuf Rendy Manilet | Article | Monday, 20 April 2020

Belum lama ini, pemerintah menambah anggaran belanja negara sebesar Rp 405 triliun untuk menangkal dampak negatif virus korona (Covid-19), baik terhadap kesehatan maupun perekonomian. Insentif tambahan ini setara dengan 2,5% Produk Domestik Bruto (PDB), dan jika dibandingkan dengan negara lain, insentif yang digelontorkan Indonesia relatif lebih besar. Insentif tambahan Indonesia lebih besar dibanding Italia (1,4% terhadap PDB), China (1,2%), ataupun Korea (0,8%).

Dengan tambahan belanja ini, defisit anggaran diproyeksikan melebar sampai dengan Rp 852 triliun, jauh di atas target sebelumnya yang hanya mencapai Rp 300 triliun. Selain karena tambahan belanja, kenaikan defisit anggaran juga tidak terlepas dari proyeksi penerimaan negara yang akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan target APBN 2020.

Menurut perhitungan penulis, realisasi penerimaan perpajakan, sebagai sumber utama peneriman negara, akan berada di kisaran Rp 1452 triliun hingga Rp 1514 triliun. Pelebaran defisit anggaran memang diperlukan untuk memberikan stimulus perekonomian. Dalam tulisan sebelumnya di media ini berjudul Defisit Anggaran dan Stimulus Perekonomian (3 Februari 2020), penulis menyampaikan, defisit anggaran tidak selalu berarti buruk.

Secara teoritis dan data empiris menunjukkan, beberapa negara justru menggunakan instrumen fiskal dengan cara melebarkan defisit anggaran untuk memberikan stimulan agar ekonomi bisa tumbuh. Di tengah kondisi pandemi korona seperti sekarang, pendekatan stimulus dengan cara pelebaran defisit anggaran semakin terasa relevan.

Namun demikian, dengan pelebaran batasan defisit anggaran sampai dua tahun ke depan, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Pertama, risiko kepemilikan investor asing pada surat utang pemerintah.

Dengan melebarnya defisit anggaran, peluang pemerintah untuk menerbitkan surat utang sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit akan semakin membesar. Namun, pembiayaan anggaran saat ini masih cukup bergantung pada investor asing. Sekitar 35% sampai 40% surat utang yang diterbitkan pemerintah dipegang oleh investor asing. Angka ini relatif besar dibandingkan dengan negara-negara peer, seperti Thailand, Malaysia, ataupun China.

Kondisi ini menjadikan struktur pembiayaan anggaran akan sangat rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow). Contoh terbaru bisa dilihat pada Februari dan Maret 2020 ketika dana asing keluar sebanyak Rp 145 triliun dari surat utang negara. Situasi ini mengharuskan Bank Indonesia (BI) untuk mengintervensi pasar obligasi negara.

Pelarian aliran modal ini pula yang menyebabkan rupiah mengalami pelemahan hingga berada di level 16.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Selama Januari sampai dengan akhir Maret rupiah melemah sebesar 17,4%.

Kedua, risiko crowding out effect. Hal ini bisa terjadi karena dengan semakin banyaknya penerbitan surat utang pemerintah, maka akan semakin banyak pula yang akan menyerap likuiditas dari perbankan. Dampaknya swasta akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri. Kalaupun mereka mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang (obligasi), mereka harus mencari menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah, ini artinya cost of fund bagi mereka akan menjadi lebih mahal.

Ketiga, potensi meningkatnya utang luar negeri swasta. Jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri, maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan terakhir. Peningkatan utang luar negeri swasta tentu perlu menjadi perhatian karena 89% bentuk utang luar negeri swasta berdenominasi dollar AS dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar, apalagi kepada swasta yang tidak melakukan hedging (lindung nilai).

Sumber pembiayaan BI

Risiko bertambah bagi swasta yang terkait dengan komoditas, potensi pelemahan harga komoditas bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar. Faktanya pertumbuhan utang swasta yang bergerak di sektor komoditas lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain seperti manufaktur ataupun keuangan

Oleh karena itu dengan beragam risiko di atas, pemerintah perlu hati-hati merancang strategi pembiayaan defisit anggaran. Dalam penerbitan surat utang pemerintah, misalnya pemerintah berencana menerbitkan surat utang global dengan tenor 50 tahun, dengan tenor waktu yang lebih lama tentu ada risiko biaya bunga utang yang lebih lama ditanggung pada APBN. Belum lagi berbicara repo rate, atau biaya tambahan yang harus ditangung pemerintah jika pemerintah memutuskan untuk melakukan buyback obligasi sebelum jatuh tempo.

Adapun tujuan lain penerbitan surat utang global ini untuk menarik likuiditas dollar AS juga menjadi rancu. Sebab BI juga sudah mencapai kesepakatan dengan Bank Sentral AS, The Fed, untuk mendapat fasilitas repo line senilai US$ 121 miliar yang bisa dipergunakan untuk kebutuhan likuiditas dollar AS jika diperlukan. Lebih jauh, BI juga mengklaim bahwa cadangan devisa masih jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan impor dalam beberapa bulan ke depan.

Memang betul pemerintah berencana untuk mencari sumber pembiayaan selain dari penerbitan surat utang, salah satunya pinjaman luar negeri. Namun, karena menggunakan valuta asing, pinjaman luar negeri memiliki risiko selisih kurs di samping proses penarikan pinjaman luar negeri pun membutuhkan waktu yang lebih lama karena harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari organisasi pemberi pinjaman.

Berdasarkan hal tersebut memang penerbitan surat utang menjadi pilihan ideal untuk membiayai pelebaran defisit anggaran. Namun alih-alih bergantung pada penerbitan global bond, pemerintah dan BI perlu bersinergi untuk memaksimalkan pembiayaan dari dalam negeri oleh BI.

Apalagi dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1/2020, BI diberikan kewenangan untuk membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah di pasar primer sehingga injeksi likuiditas dari BI bisa dioptimalkan menjadi sumber utama pembiayaan. Pembiayaan dari dalam negeri menjadi relevan dengan program stimulus yang banyak diperuntukan untuk kegiatan ekonomi dalam negeri seperi bantuan langsung tunai.

Dalam jangka panjang, terbitnya Perpu No 1/2020 harusnya menjadi momentum keterlibatan BI lebih banyak dalam penyerapan surat utang pemerintah, khususnya setelah berakhirnya pandemi Covid-19. Saat ini total proporsi kepemilikan BI dalam surat utang pemerintah hanya mencapai 7%. Porsi tersebut jauh di bawah kepemilikan asing sekitar 35%. Tentu dengan lebih sedikit kepemilikan asing pada surat utang pemerintah, risiko seperti sudden capital outflow serta pelemahan kurs yang merugikan ekonomi bisa diminimalkan.

 

*) Artikel ini telah dimuat dalam harian Kontan pada 20 April 2020