Responsive image

Babak Baru Dana Desa

Eliza Mardian | Article | Wednesday, 08 April 2020

Dana senilai Rp 72 triliun akan siap digelontorkan oleh pemerintah dalam rangka menstimulus perekonomian. Rencana tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjaga target pertumbuhan ekonomi sekaligus menggerakkan perekonomian di desa. Sejak tahun 2015 hingga 2019, dana desa yang sudah terealisasi mencapai Rp 257 triliun atau secara rata-rata meningkat 42% setiap tahun. Bahkan saat ini proporsi dana desa terhadap total belanja pemerintah juga semakin meningkat.

Namun sayangnya, tren peningkatan anggaran dana desa tersebut, belum diimbangi dengan peningkatan jumlah pendamping desa. Ironisnya, Menteri Desa PDTT, Halim Iskandar, pada 5 Februari lalu menyatakan bahwa tahun ini berencana memoratorium pengisian kekurangan pendamping desa, di saat kita kekurangan tenaga pendamping. Bahkan, hingga saat ini masih ada desa yang belum didampingi: dari 74.935 desa, sekitar 1000 desa belum memiliki pendamping.

Saat ini, jumlah pendamping hanya 38.719 orang. Artinya, satu pendamping berkewajiban mendampingi dua desa dan bahkan bisa lebih untuk kasus beberapa daerah. Misalnya seperti yang terjadi di Bengkulu dan Kalimantan Tengah di mana satu orang pendamping terpaksa mendampingi sekitar tiga hingga empat desa sekaligus. Padahal idealnya, setiap desa didampingi minimal oleh satu orang.

Keberadaan pendamping desa memainkan peranan penting dalam pemberdayaan masyarakat serta pemerintah desa. Mereka berperan sebagai fasilitator pembangunan desa, penghubung antara pemerintah dan masyarakat sekaligus menjadi konsultan dalam setiap perencanaan hingga evaluasi program. Melihat pentingnya peranan pendamping, maka sudah seharusnya jumlah pendamping disesuaikan dengan jumlah desa yang ada.

Selain kekurangan jumlah pendamping, kita sebetulnya juga dihadapkan pada sejumlah permasalahan serius lainnya. Umpamanya, penggunaan dana desa oleh BUMDes yang belum optimal. Dalam temuan BPK pada semester II 2018 lalu, disebutkan bahwa terdapat BUMDes yang tidak beroperasi, tidak tertib administrasi, tidak dikelola orang kompeten dan bidang usaha yang diusahakan tidak sesuai dengan potensi desa. Temuan tersebut juga diperkuat fakta bahwa dari 45.887 BUMDes yang tersebar di berbagai desa, hanya 10% BUMDes yang masih on the track, dan sebesar 21%nya mangkrak dan sisanya masih bertumbuh mencari jati diri.

Hal ini kemudian diperparah dengan banyaknya kasus korupsi pada pengelolaan dana desa. Berdasarkan temuan Indonesian Corruption Watch (ICW), kasus korupsi dana desa setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Dari semula 22 kasus pada 2015 menjadi 96 kasus pada 2018. Jika dijumlahkan, sejak 2015-2018 kasus korupsi dana desa sudah mencapai 252 kasus. Jumlah yang tidak sedikit, tentu saja.

Langkah Perbaikan

Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, tentu diperlukan langkah perbaikan serius untuk meningkatkan efektivititas penggunaan dana desa tersebut. sebagai langkah awal, kita perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas pendamping desa. Kehadiran pendamping sejak saat perencanaan program hingga pelaporan akan menghasilkan kebijakan yang selaras dengan kebutuhan desa serta dapat meminimalisir ketidaksesuaian administrasi. Dengan demikian, pengelolaan dana desa akan menjadi semakin baik, akuntabel dan transparan.

Kedua, revitalisasi BUMDes. Dalam melaksanakan agenda revitalisasi ini dibutuhkan pendampingan yang intensif dari tenaga pendamping desa. Pendamping diharapkan mampu memperkuat kapasitas SDM manajemen BUMDes dan membantu BUMDes dalam merencanakan usaha. Core business BUMDes sebaiknya disesuaikan dengan potensi unggulan dan kearifan lokal desa. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi kasus BUMDes yang mangkrak akibat salah memilih jenis usaha.  

Untuk memperkuat dan menjaga keberlanjutan usaha BUMDes, sebaiknya BUMDes diintegrasikan (linkage) dengan BUMDes lain atau dengan industri sedang maupun besar melalui kemitraan dan pendampingan dari berbagai pemangku kepentingan. Dengan terbangunnya linkage tersebut, berbagai permasalahan seperti kesulitan mengakses pasar, modal dan teknologi dapat teratasi.

Terakhir, ketiga, yang tidak kalah penting adalah membangun mentalitas dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal ini, kita dapat meniru Korea Selatan yang berhasil menekan kemiskinan di desa melalui serangkaian kebijakan program pembangunan desa yang bernama Gerakan Saemaul Undong. Program tersebut tidak hanya sekadar membangun dan memperbaiki sarana dan prasarana dasar serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Tetapi juga membangun mentalitas masyarakat agar memiliki etos pekerja keras, disiplin, tekun dan jujur.  

Mentalitas yang seperti itulah yang dibutuhkan saat ini. Masyarakat harus menyadari bahwa pembangunan seyogyanya dilakukan dari, oleh dan untuk mereka sendiri. Apalagi, di tengah keterbatasan kemampuan pemerintah sebagai penggerak utama pembangunan pedesaan, maka perubahan yang terjadi di desa akan bergantung pada kemampuan masyarakatnya. SDM yang kreatif dan inovatif adalah kunci dari kemajuan desa, dan salah satu pendekatan yang efektif untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat desa adalah melalui pendampingan yang berkualitas dan intensif.

 

*) Artikel ini telah dimuat dalam harian Bisnis Indonesia pada Selasa, 18 Maret 2020