Responsive image

Korona, Tiongkok, dan Kepanikan Global

Azhar Syahida | Article | Saturday, 04 April 2020

Siapa sangka ekonomi global akan sepanik ini. Epidemi virus korona (Covid-19) yang muncul akhir Desember tahun lalu dari kota kecil Wuhan di Tiongkok Tengah itu telah memukul sebagian besar aktivitas ekonomi dunia. Tanpa analisis virus korona pun, sebetulnya ekonomi dunia tengah menghadapi ketidakpastian yang sangat tinggi akibat tensi geopolitik dan politik ekonomi negara adikuasa yang kian tidak menentu. Praktis, pada 2020, dunia akan semakin terimpit ketidakpastian.

Para ekonom dunia lantas menganalisis dampak korona terhadap ekonomi dengan melihat imbas persebaran virus SARS hampir dua dekade lalu. Persoalannya, volume ekonomi Tiongkok tidak lagi sama dengan besaran ekonomi mereka ketika virus SARS menyebar mulai November 2002.

Pada tahun itu, ekonomi Tiongkok baru mencapai 4 persen dari total produk domestik bruto (PDB) dunia. Sementara pada 2019 ekonomi Tiongkok sudah menyentuh 16 persen dari total PDB dunia. Artinya, untuk membaca dampak ekonomi korona, mestinya kita melihat imbasnya dalam konteks ekonomi Tiongkok yang jauh lebih besar seperti sekarang.

Volume ekonomi Tiongkok yang demikian besar memberikan sinyal bahwa penghentian sementara kegiatan industri di Wuhan dan beberapa kawasan lain di Tiongkok jelas akan berdampak signifikan terhadap aktivitas ekonomi di negara yang memiliki relasi dagang dengan Tiongkok.

Disrupsi Rantai Pasok

Hemat saya, dengan volume ekonomi Tiongkok yang jauh lebih besar seperti sekarang, efek korona akan melampaui epidemi SARS. Lebih-lebih, Tiongkok hari ini sudah kian terhubung dengan rantai pasokan global. Karena itu, secara khusus epidemi korona setidaknya akan memukul rantai pasokan industri sebagaimana yang mulai terasa beberapa pekan belakangan ini.

Asia diperkirakan menjadi kawasan yang paling terdampak. Wajar, sebagai kawasan yang secara geografis berdekatan dengan Tiongkok, 40 persen bahan baku atau bahan penolong industri di Asia didatangkan dari Negeri Tirai Bambu tersebut.

Selain itu, secara global, Bloomberg mencatat, terdapat 146 industri otomotif, 47 industri peralatan elektronik, 28 industri peralatan transportasi, dan 28 industri permesinan yang produksinya terpengaruh virus korona. Selain di Tiongkok, industri tersebut tercatat di Jepang, Amerika Serikat (AS), Taiwan, Hongkong, Prancis, dan beberapa negara lain.

Lebih-lebih, 11 provinsi di Tiongkok memutuskan untuk menghentikan sementara produksi otomotif. Beberapa pabrikan yang menghentikan produksi itu, antara lain, General Motors, Nissan, dan Hyundai. Padahal, komponen industri otomotif dari Tiongkok sangat dibutuhkan untuk pabrikan di negara lain. HIS Markit menyebut, jika situasi ini bertahan hingga pertengahan Maret, produksi otomotif di Tiongkok akan turun 32,3 persen.

Selain industri otomotif, sebagaimana dicatat The Economist, yang juga tak kalah mengkhawatirkan, Tiongkok disebut memproduksi lebih dari 80 persen bahan baku obat di seluruh dunia. The Economist lantas menyebutkan, efek wabah korona diperkirakan memangkas pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada kuartal I 2020 menjadi hanya 4 persen, terendah selama tiga dekade terakhir.

Efek virus korona yang demikian eksponensial pada akhirnya juga berimbas pada perlambatan pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang Tiongkok. Kajian Bloomberg menyimpulkan, korona diprediksi memangkas 0,42 persen pertumbuhan ekonomi dunia pada kuartal I 2020. Sementara itu, untuk negara-negara mitra dagang, Bloomberg memperkirakan Hongkong sebagai negara yang paling parah dengan perlambatan pertumbuhan pada kuartal I 2020 mencapai 1,74 persen. Adapun ekonomi Indonesia, pertumbuhannya diperkirakan melambat lebih sedikit, yakni 0,26 persen, dan diikuti beberapa negara mitra dagang Tiongkok lain seperti Jepang (0,22 persen); Jerman (0,17 persen); Euro (0,14 persen); dan Amerika Serikat (0,12 persen).

Tantangan

Pandemi virus korona di Tiongkok yang berdampak negatif terhadap ekonomi dunia menggambarkan bahwa cengkeraman globalisasi memang nyata adanya. Hal itu tampak dari kegiatan ekonomi antarnegara yang kian terikat satu sama lain, bagai simpul yang menampakkan ketergantungan antarnegara dan menghapus batas-batas negara pada sisi lain.

Dunia tentu dibenarkan untuk panik. Terutama yang ekonominya bergantung pada Tiongkok. Namun, langkah bersama mesti diambil untuk mencegah persebaran virus yang kian eksponensial itu. Pun, pada masa mendatang, potensi epidemi yang lebih besar harus diperhatikan lebih saksama.

World Economic Forum (WEF) dalam laporannya, Global Risk Report, menyebut ’’new breakthrough, new risks’’ sebagai sebuah keniscayaan dalam dunia kesehatan, yang nyatanya punya imbas besar pada kegiatan ekonomi.

Sementara itu, sebagai salah satu mitra dagang penting Tiongkok, Indonesia mesti mengambil tindakan visioner jangka panjang. Virus korona bisa menjadi pelajaran berharga bahwa keterikatan global yang tidak dapat terhindarkan dapat memukul aktivitas ekonomi yang hanya fokus pada satu kawasan.

Namun, sebaliknya, struktur ekonomi domestik yang kukuh, yang ditopang pemaksimalan berbagai alternatif pasar nontradisional, dipastikan mampu meminimalkan pengaruh gejolak rantai pasokan global.

 

*) Artikel ini telah dimuat dalam harian Jawa Pos pada Kamis, 5 Maret 2020