Responsive image

Tantangan Pertanian 2019 – 2024

Prof. Dwi Andreas Santosa | Article | Thursday, 02 April 2020

Selamat kepada Syahrul Yasin Limpo yang dipercaya menahkodai pembangunan pertanian dan pangan pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sungguh tugas yang teramat berat dengan tantangan yang tidak ringan meskipun juga menyajikan harapan besar bila kebijakan pertanian dikemas dengan tepat dan pembangunan pertanian dijalankan dengan baik.

Selama dua puluh tahun terakhir sejak reformasi bergulir, pertanian dan pangan Indonesia mengalami perubahan besar dengan semakin dibukanya akses impor dan liberalisasi di sektor tersebut. Pada periode 2001 – 2004 impor pangan sudah mengalami peningkatan walaupun belum begitu besar yaitu dari 2,5 menjadi 3,7 milyar dolar AS.

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbagai program dijalankan baik perbaikan prasarana pertanian, subsidi benih, pupuk, berbagai kredit serta program khusus untuk swasembada beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula. Pada periode 2004 – 2013 anggaran pertanian dan pangan meningkat tajam yaitu sebesar 611 persen. Peningkatan anggaran sebagian besar digunakan untuk upaya peningkatan produksi pangan. Tetapi apa yang terjadi? Apakah peningkatan anggaran yang begitu tajam setajam peningkatkan produksi, menurunkan impor dan memperbaiki kesejahteraan petani?

Pada periode tersebut produksi padi memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari 48,9 juta ton GKG (gabah kering giling) menjadi 58,7 juta ton GKG atau 20 persen (data dari berbagai sumber dan hasil citra satelit, D.A. Santosa, 2019). Tetapi bila dikaji lebih detil, faktor alam jauh lebih berperan dalam peningkatan produksi dibanding anggaran dan program. Pada tahun 2008 hingga 2010 berlangsung kemarau basah sehingga produksi padi terus mengalami peningkatan sepanjang tahun. Pada tahun 2011 produksi padi tiba-tiba turun tajam dari 60,1 juta ton GKG menjadi 53,8 juta ton GKG akibat serangan hama wereng yang hebat karena penanaman padi terus menerus pada tahun-tahun sebelumnya. Produksi padi kemudian membaik lagi hingga tahun 2013.

Peningkatan anggaran yang besar tidak berkorelasi sama sekali dengan penurunan impor. Impor pangan justru melonjak tajam sebesar 346 persen. Kesejahteraan petani juga tidak membaik. Pada periode tersebut 5 juta rumah tangga petani terpaksa keluar dari lahannya (Sensus Pertanian 2013).

Perbaikan justru terjadi di sub-sektor dimana peran dan intervensi pemerintah baik dalam bentuk anggaran dan program sangat kecil. Riset dan pengembangan, teknologi budidaya, perluasan area serta pembukaan pasar baik nasional maupun internasional hampir semuanya didominasi dan dilakukan oleh sektor swasta. Di sub-sektor tersebut, nilai ekspor komoditas terutama kelapa sawit melonjak tajam dari hanya 9,888 milyar dolar di tahun 2004 menjadi 43,365 milyar dolar di tahun 2011. Neraca perdagangan juga naik drastis dari surplus sebesar 4,859 milyar dolar menjadi 22,766 milyar dolar di tahun 2011. Meskipun kemudian mengalami penurunan menjadi 17,938 milyar di tahun 2013, sub-sektor tersebut tetap menorehkan prestasi yang mengagumkan.

Peningkatan Anggaran dan Impor Pangan

Era Presiden SBY kemudian digantikan era Presiden Joko Widodo. Bagaimana sektor pertanian dan pangan pada periode pertama pemerintahan saat ini? Pembangunan infrastruktur pertanian berupa bendungan, dam dan perbaikan jaringan irigasi dijalankan secara masif. Berbagai program digulirkan diantaranya program swasembada 6 komoditas hingga tahun 2019, program Upsus PAJALE, pembagian alat dan mesin pertanian yang melonjak drastis dibanding pemerintahan sebelumnya, serta pendirian ribuan toko tani yang kesemuanya didukung dengan peningkatan anggaran yang tajam.

Pembangunan pertanian masa pemerintahan saat ini diawali dengan lonjakan tajam anggaran pertanian dan pangan dari 71,243 trilyun rupiah tahun 2014 menjadi 127,569 trilyun rupiah di tahun 2015 atau kenaikan sebesar 79 persen. Lonjakan anggaran tertinggi terjadi di kementerian pertanian yaitu sebesar 141 persen antara tahun 2015 dibanding 2014. Total anggaran 2015 – 2018 mencapai 409 trilyun rupiah atau rata-rata lebih dari 100 trilyun per tahun. Hal yang wajar bila kemudian masyarakat mempertanyakan hasilnya.

Peningkatan produksi tanaman pangan terutama padi yang menerima anggaran terbesar justru tidak mengalami perbaikan berarti. Peningkatan produksi padi selama 17 tahun terakhir ini  (2001 – 2018) sudah lebih rendah dari pertumbuhan penduduk yaitu hanya 1,00 persen tiap tahunnya. Produksi padi pada pemerintahan saat ini tidak mengalami perbaikan, bahkan justru mengalami penurunan yang mengkawatirkan. Produksi padi hanya meningkat 0,28 persen per tahunnya (2015 – 2018) jauh lebih rendah dari rata-rata 17 tahun terakhir.

Ditengah peningkatan anggaran yang tinggi, total impor pertanian juga meningkat drastis dari 19,4 juta ton (2014) menjadi 28,6 juta ton (2018) atau lebih dari 9 juta ton hanya dalam tempo 4 tahun terakhir yang didominasi sub-sektor tanaman pangan sebesar 22,0 juta ton. Nilai impor pertanian meningkat dari 10,436 milyar dolar menjadi 13,193 milyar dolar pada periode yang sama.

Bagaimana bila membandingkan impor-ekspor sub-sektor tanaman pangan pemerintahan SBY (2005 – 2014) dengan pemerintah saat ini (2015 – 2018)? Rata-rata impor tahunan pada pemerintah sebelumnya sebesar 11,7 juta ton bahan pangan sedangkan saat ini justru meningkat menjadi 20,6 juta ton. Sedangkan ekspor sub-sektor tanaman pangan justru mengalami penurunan dari 0,762 juta ton rata-rata tahunan menjadi 0,371 juta ton pada pemerintah saat ini. Peningkatan impor dan penurunan ekspor sub-sektor tanaman pangan meningkatkan defisit neraca perdagangan dari rata-rata -4,090 milyar dolar per tahun pada pemerintah sebelumnya menjadi -6,753 milyar dolar pada pemerintahan saat ini.

Kesejahteraan petani pada periode pemerintahan saat ini justru memburuk. Nilai Tukar Petani (NTP) menurun dari rata-rata 104,45 pada pemerintahan SBY menjadi 101,75 pada pemerintahan saat ini. Kesejahteraan petani tanaman pangan juga praktis tidak mengalami perbaikan dengan NTP 100,14 pada pemerintahan sebelumnya menjadi 100,32 pada pemerintahan saat ini.

Sekali lagi neraca perdagangan pertanian Indonesia diselamatkan oleh swasta terutama perkebunan kelapa sawit. Rata-rata tahunan surplus neraca  perdagangan pertanian sedikit menurun dari 8,863 milyar dolar (2005 – 2014) menjadi 8,395 milyar dolar (2015 – 2018).

Mengurai Masalah

 Berkaca dari data yang ada sungguh ironis. Anggaran yang begitu besar dan terus mengalami peningkatan dari satu periode ke periode pemerintahan selanjutnya praktis tidak berdampak pada peningkatan produksi. Sebaliknya yang terjadi justru impor pangan semakin meningkat tajam dan kesejahteraan petani menurun.

Bila menilik lebih jauh ke kebijakan dan program yang ada maka praktis tidak ada bedanya antara satu pemerintahan dengan pemerintahan selanjutnya. Pembeda utama hanya masalah anggaran yang selalu meningkat drastis ketika pemerintahan berganti. Dengan kebijakan dan program yang sama maka hasil akhirnya sudah bisa diduga.

Sering dinyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi besar di bidang pangan sehingga gagasan seperti “lumbung pangan dunia” atau pada pemerintah sebelumnya “feed the world” menjadi visi pembangunan pertanian utama hingga saat ini. Kenyataan yang ada sesungguhnya tidak demikian.

Lahan pangan terbaik hanya ada di Pulau Jawa yang harus bersaing keras untuk kepentingan pemukiman, infrastruktur, industri dan jasa. Beberapa lahan pangan terbaik di luar Jawa juga menghadapi permasalahan yang sama dengan di Jawa, bahkan ancamannya bertambah satu yaitu konversi ke perkebunan terutama kelapa sawit. Semua jargon dan retorika yang disampaikan selama ini terbentur pada kenyataan bahwa periode kedua pemerintahan ini diwarisi dengan impor komoditas pertanian sebesar 28,6 juta ton dimana 22,0 juta ton adalah impor pangan. Impor tersebut sangat mungkin akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Lalu apakah masih ada secercah harapan untuk pengembangan sektor pertanian? Harapan selalu ada. Sub-sektor perkebunan yang hingga saat ini didominasi swasta dan intervensi pemerintah sangat kecil memang sebaiknya berjalan sebagaimana yang ada selama ini. Intervensi terlalu dalam ke sektor ini bisa menyebabkan dampak negatif yang tidak diinginkan. Tugas pemerintah terpenting hanya melindungi dan mengamankan sub-sektor ini dalam diplomasi di tingkat internasional. Saat ini posisi Indonesia berada di peringkat satu dunia untuk kelapa sawit, “masih” di peringkat satu untuk kelapa dan cengkeh, peringkat dua untuk karet dan lada, serta peringkat tiga untuk kakao dan pala. Semoga peringkat tersebut masih bisa bertahan dan bahkan ditingkatkan.

Persoalan terbesar berada di sub-sektor tanaman pangan yang merupakan kelompok terbesar, terpenting dan dominan petani kecil. Semua intervensi, kebijakan, program dan anggaran selama ini praktis tidak berdampak terhadap sub-sektor tersebut, bahkan yang terjadi impor pangan terus mengalami peningkatan. Meskipun demikian sub-sektor ini memiliki potensi besar bahkan bisa menjadi penghela pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan (D.A. Santosa “Menuju Indonesia 7.0”, Kompas 29/7/2019). Kebijakan dan program berjenis “melanjutkan apa yang sudah dilakukan Menteri sebelumnya” dipastikan akan menuai kegagalan sebagaimana diulas di awal tulisan ini.

Semoga konseptor dan pelaksana kebijakan pertanian dan pangan benar-benar memahami apa yang sebenarnya harus dilakukan sehingga pembangunan pertanian tidak berjalan ke arah yang salah dari visi dan misi Presiden. Bila hal ini tidak juga terjadi maka sesungguhnya tidak ada harapan untuk masa depan pertanian Indonesia. Semoga tidak.

 

*) Artikel ini telah dimuat dalam Harian Kompas pada Kamis, 7 November 2019