Responsive image

Daya Beli dan Fiskal Ekspansif

Rasi Tamadhika F R | Article | Friday, 20 December 2019

Permasalahan mengenai pertumbuhan ekonomi menjadi perbincangan yang sedang hangat akhir-akhir ini. Berbagai golongan baik pengusaha, ekonom maupun pemerintah dibuat ketar-ketir dengan isu resesi yang diramalkan akan menerpa ekonomi dunia di tahun 2019. Turki, Meksiko dan Hong Kong sudah merasakan getirnya resesi selama beberapa bulan ke belakang.

Bagaimana dengan Indonesia? Bank Indonesia sudah mengeluarkan prediksinya, di mana ekonomi Indonesia 2019 akan tumbuh 5,10%. Angka tersebut tentunya aman dari kata resesi, namun untuk mencapai besaran pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan Bank Indonesia tersebut tentu rasanya cukup berat. Pasalnya, jika melihat komponen yang paling diandalkan Indonesia yaitu konsumsi rumah tangga saat ini tengah dilanda indikasi perlambatan.

Gejala perlambatan konsumsi rumah tangga sudah kentara dari pertumbuhan penjualan ritel yang menunjukkan kinerja kurang menggembirakan sejak kuartal pertama tahun ini. Perlambatan ini juga diperkuat dengan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang grafiknya bergerak ke bawah sejak April 2019. Selain penjualan ritel dan IKK, gejala perlambatan juga diperlihatkan oleh kondisi manufaktur Indonesia, terefleksi melalui PMI (Purchasing Managers Index) yang mengalami kontraksi di bawah 50 sejak Juli 2019. Bahkan nilai rata-rata PMI 48,0 di kuartal IV-2019 merupakan yang terendah kedua sejak akhir 2015. Keadaan tersebut mengisyaratkan bahwa kondisi manufaktur sedang dalam keadaan paling lemah dalam empat tahun ini. Penurunan nilai PMI ini memberikan sinyal adanya pelemahan permintaan barang produksi Indonesia oleh konsumen.

Potret lesunya konsumsi masyarakat tampak pada menyusutnya penjualan kendaraan roda dua dan empat dibandingkan tahun lalu. Pada Oktober 2019, pertumbuhan penjualan kendaraan roda dua berkurang 2,02% (yoy). Masih sejalan, pertumbuhan penjualan kendaraan roda empat juga merosot 9,47% (yoy). Parahnya penyusutan konsumsi kendaraan roda empat tersebut sudah memakan korban, yaitu Chevrolet dan Datsun yang terpaksa harus hengkang dari Industri Otomotif Indonesia pada 2020 mendatang.

Sementara itu, belanja bantuan sosial yang digunakan untuk mendorong konsumsi masyarakat bawah sudah tidak mungkin lagi untuk diharapkan karena anggarannya pun telah terealisasi sebesar 94,5% atau 91,75 triliun per Oktober 2019. Jika tren diatas berlanjut di tahun depan tentunya ini akan menjadi kabar buruk bagi perekonomian Indonesia. Ditambah beragam kebijakan seperti kebijakan fiskal yang diharapkan mampu menopang daya beli justru berpotensi memperpanjang tekanan pada konsumsi masyarakat ke depannya. Diawali dari kebijakan penghapusan subsidi listrik 900VA. Padahal, keakuratan data pada penerima subsidi 900VA masih dipertanyakan, sebab tidak semua pengguna listrik 900VA adalah Rumah Tangga Mampu (RTM). Apalagi juga banyak di antara UMKM yang merupakan pelanggan listrik 900VA. Dengan demikian, kebijakan tersebut bisa jadi tidak tepat sasaran dan juga berpotensi dapat menyulitkan UMKM untuk berkembang.

Belum lagi pemerintah juga akan menambah tarif iuran BPJS. Kebijakan ini tentunya akan membebani daya beli masyarakat. Sebetulnya nilai tarif iuran BPJS bukanlah masalah utama penyebab defisit BPJS, melainkan kurang tertibnya pihak penyelenggara dan peserta dalam pelaksanaan program JKN. Bahkan ditengarai beberapa penyelenggara rentan melakukan kecurangan dalam penyampaian data agar mendapatkan biaya penggantian yang lebih besar dari BPJS. Bukan hanya itu, yang utama adalah banyak peserta yang tidak mau membayar iuran ketika tidak membutuhkan BPJS atau ketika sedang tidak sakit. Kebijakan lain yang juga berpotensi akan melemahkan daya beli masyarakat adalah pemangkasan subsidi solar hingga setengahnya dari 2019, pemotongan subsidi LPG 3 Kg sebesar 22%, dan kenaikan cukai rokok hingga 23%. Kekuatan konsumsi rumah tangga juga akan diuji oleh pertumbuhan belanja bantuan sosial pada tahun 2020 yang akan berkurang sebesar 8% dibanding tahun sebelumnya.

Apabila memang ingin memacu pertumbuhan ekonomi, maka kebijakan fiskal yang menggerus daya beli masyarakat semestinya dipertimbangkan kembali. Loyonya daya beli akan berakibat pada kurang bergairahnya permintaan, khususnya permintaan domestik sehingga akan menekan konsumsi rumah tangga dan akhirnya membuat ekonomi menjadi lesu. Memang Bank Indonesia sudah melakukan kebijakan pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga dan GWM (Giro Wajib Minimum) untuk mengakselerasi ekonomi, namun pertumbuhan kredit yang diinginkan ternyata masih lambat akibat permintaan yang lemah. Masalah permintaan ini erat kaitannya dengan daya beli masyarakat yang kurang bergairah. Jika daya beli masyarakat kuat maka akan menstimulus permintaan sehingga dapat menghidupkan berbagai sektor ekonomi.

Jalan keluar dari muramnya kondisi daya beli masyarakat saat ini dapat dilakukan pemerintah dengan kebijakan fiskal yang ekspansif. Apalagi pemerintah mempunyai ruang defisit anggaran yang relatif masih longgar, hal ini dapat dimanfaatkan untuk melebarkan defisit anggaran. Pelebaran ini tentu hanya bersifat sementara dan ditujukan untuk menggairahkan daya beli masyarakat agar akselerasi ekonomi dapat tercapai. Ketika kondisi ekonomi sudah membaik maka pelebaran defisit tersebut dapat ditutup kembali. Indikasi pelemahan konsumsi tentunya akan menjadi masalah bagi pertumbuhan ekonomi. Menjaga daya beli masyarakat jelas sekali urgensinya dan tidak bisa ditawar. Kebijakan fiskal yang ekspansif dan terukur bisa menjadi solusi dalam upaya menjaga daya beli.

*) Artikel ini telah dimuat di kolom opini harian Investor Daily Senin, 16 Desember 2019