Responsive image

Menimbang Peluang Indonesia Menang Lawan Uni Eropa soal Sawit

Kumparan.com | Feature | Friday, 20 December 2019

Indonesia resmi menggugat Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) pada 9 Desember 2019. Gugatan itu terkait kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE.Alasannya, UE dianggap membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit Indonesia. Sehingga, berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.


Terkait hal ini, Direktur Riset CORE Piter Abdullah menyatakan, dirinya justru kurang sependapat dengan langkah pemerintah menggugat Uni Eropa. Gugatan itu menurutnya justru malah bisa kontraproduktif. "Yang perlu dipertimbangkan adalah gugatan ini adalah gugatan yang sulit untuk dimenangkan oleh indonesia, karena kasus ini masuk dalam kategori non-tariff barrier atau bukan hambatan tarif," ujar Piter kepada kumparan, Minggu (15/12).


Piter menambahkan, daripada Indonesia malah banyak keluar biaya, ada cara lain yang bisa ditempuh. Misalnya saja, membalas perlakuan Eropa tersebut dengan menerapkan hal yang sama terhadap produk-produk Eropa. "Kalau terus dilanjutkan dan kemudian benar-benar kalah, yang jelas menjadi pemborosan saja karena biaya gugatan tersebut tidak murah," kata dia.
Dalam kondisi seperti ini, menurutnya Indonesia sebaiknya fokus menggenjot penyerapan CPO di dalam negeri. Misalnya, memanfaatkan biodiesel secara optimal.


"Pemanfaatan CPO dalam program B30, saya kira sudah sangat tepat. Ini akan mengurangi kebutuhan impor solar. Penurunan ekspor CPO ke Eropa bisa ditutup dengan penurunan impor solar. Sementara kita bisa mencari pasar CPO lain di luar Eropa," ujarnya. Sementara itu, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat, Pemerintah Indonesia boleh saja membawa kasus itu di WTO. Namun, mesti berbekal tim hukum dan kajian yang kuat. "Selama ini kelemahan Indonesia ketika ajukan gugatan di WTO adalah kajian terkait produk yang dibela masih belum memuaskan," ucapnya.

Misalnya dalam konteks sawit, kata dia, Indonesia harus bisa membuktikan secara ilmiah bahwa pengelolaan sawit sebagian sudah mematuhi aspek keberlanjutan lingkungan hidup. Bahkan sudah ada standar ISPO yang menjamin pengelolaan sawit berkelanjutan. 

Di sisi lain, Bhima menyebut pelaku atau oknum perkebunan sawit yang melanggar regulasi lingkungan perlu dikenai hukuman yamg berat. Pihak Uni Eropa pun, tidak menggeneralisasi bahwa semua sawit merusak lingkungan.Pihaknya menyebut, sawit bagaimana pun juga memiliki dampak terhadap perekonomian nasional dan pengurangan kemiskinan di Indonesia."Uni Eropa pastinya menimbang aspek pengurangan kemiskinan negara berkembang seperti indonesia. Kan sudah terbukti bahwa pendapatan pekebun sawit di atas rata rata garis kemiskinan," katanya.


Sumber: Kumparan