Responsive image

Resesi ekonomi dunia menghantui, haruskah Indonesia khawatir?

Beritagar.ID | Feature | Monday, 09 September 2019

Ekonomi dunia saat ini sedang mengalami perlambatan. Sejumlah kalangan menyebut jika dunia saat ini sudah mendapatkan sinyal resesi. Sejumlah ekonom, investor, dan pengamat pasar mulai khawatir dalam pandangannya tentang kondisi ekonomi saat ini.

Resesi didefinisikan dengan penurunan ekonomi yang terjadi dalam dua kuartal berturut-turut.Beberapa negara sudah mendapatkan status resesi tersebut, yakni Inggris, Turki, Jerman, Argentina, dan Brasil. Bahkan, Goldman Sachs memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) tinggal menunggu waktu untuk jatuh ke dalam jurang yang sama.

Perekonomian global yang melambat, membuat sejumlah bank sentral memangkas bunga pinjaman dan perang dagang yang kian memanas membebani sentimen bisnis. Kondisi ini dikhawatirkan akan menular ke negara lain, termasuk ke Indonesia.

Pengamat ekonomi dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengambil contoh resesi ekonomi yang terjadi di Turki secara tidak langsung memiliki potensi memperlambat kinerja ekspor Indonesia karena perekonomian dunia bersifat terintegrasi. “Ekonomi dunia itu kan terintegrasi seperti halnya ada penyakit pasti akan menular dan punya efek, misalnya kaki kita terluka ya pasti otomatis bagian tubuh lain juga akan merasakan, maksudnya terintegrasi seperti itu,” katanya dilansir dari Antaranews, Jumat (6/9/2019).

Enny menjelaskan, perlambatan ekonomi di Turki berkontribusi terhadap perlambatan ekonomi dunia sehingga akan menyebabkan penurunan permintaan dunia yang menjadi salah satu faktor penurunan harga-harga komoditas. “Kalau harga komoditas turun otomatis kinerja ekspor Indonesia juga melambat,” ujarnya.

Menurut data Kementerian Perdagangan, Indonesia cukup aktif menjalin tali dagang dengan negara pimpinan Recep Tayyip Erdogan tersebut. Neraca perdagangan Indonesia terhadap Turki sejak tahun 2014 hingga Juni 2019 selalu mengalami surplus, meskipun trennya menurun.

Tahun lalu, nilai ekspor Indonesia ke Turki mencapai AS$1,1 miliar (Rp15,5 triliun) atau meningkat 1,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun komoditas unggulan ekspor Indonesia ke Turki yakni karet, teh, kopi, hasil laut, benang tekstil, produk kehutanan hingga kelapa sawit.

Perkuat ekonomi domestik

Angka perekonomian Indonesia di semester pertama 2019 memang tidak terlalu menggembirakan. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen belum tercapai dalam dua kuartal terakhir. Begitu pula dengan penerimaan pajak dan belanja negara.

Hanya rupiah dan inflasi saja yang masih dalam target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Yang terbaru, Bank Indonesia mencatat posisi defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) pada kuartal II-2019 nilainya AS$8,4 miliar. Artinya, defisit itu mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini telah menyentuh batas tertinggi CAD yang pemerintah proyeksikan di level 2,5 persen - 3 persen dari PDB 2019.

Kendati demikian, Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan Indonesia masih cukup aman dari ancaman resesi. Ekonomi Indonesia masih diuntungkan dengan dominasi dari sisi faktor domestik yaitu konsumsi rumah tangga yang mencapai sekitar 80 persen, sedangkan faktor seperti ekspor, impor, dan investasi hanya berkontribusi sebanyak 20 persen.

Hal tersebut berbeda dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia karena ketergantungan pada keterbukaan perdagangannya yaitu volume ekspor dan impor yang mencapai dua kali lipat dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Tantangan untuk Indonesia sesungguhnya bukan menghindari resesi, tapi bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jauh lebih dari 5 persen." ujar Piter kepada Beritagar.id, Jumat (6/9).

Menurut Piter, meskipun global mengalami perlambatan, Indonesia masih bisa memacu ekonomi agar bisa tumbuh lebih tinggi. Karena itu dibutuhkan koordinasi khususnya pemerintah dan BI untuk menstimulus perekonomian dengan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar serta didukung oleh kebijakan sektor riil yang lebih kondusif. Dari sisi pemerintah, dibutuhkan kebijakan belanja yang lebih ekspansif diikuti dengan pelonggaran pajak. Kemudian dari sisi BI diperlukan kebijakan moneter yang lebih longgar atau bahkan lebih ekspansif.


Sumber: Beritagar.Id