Responsive image

Pembiayaan Infrastruktur dan Peran Suku Bunga

| Article | Tuesday, 23 July 2019

Ketika menempati pucuk pimpinan pemerintahan lima tahun lalu, salah satu pekerjaan rumah presiden baru ketika itu, Joko Widodo ialah masih tertinggalnya kapasitas infrastruktur di Indonesia dibanding negara lain. Pada tahun 2014, menurut laporan World Economic Forum, peringkat infrastruktur Indonesia masih berada di posisi 72, jauh tertinggal dibanding Malaysia dan Afrika Selatan yang masing-masing sudah berada di peringkat 20 dan 59.

Berangkat dari situ pemerintah mulai memulai pembangunan infrastruktur yang tersebar di seluruh Indonesia. Tercatat per tumbuhan anggaran infrastruktur selama lima tahun terkahir ini meningkat 62% dari Rp 256,1 triliun menjadi Rp 415 triliun. Muara tujuan dari pembangunan infrastruktur ini tidak lain sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan konektivitas antardaerah di Indonesia.


Usaha pemerintah dalam membangun infrastruktur selama lima tahun terakhir tidak sia-sia. Keberhasilan pembangunan infrastruktur telah dirasakan oleh masyarakat luas, yang paling terbaru masyarakat yang melalukan kegiatan mudik atau pulang kampung menggunakan beberapa infrastruktur yang diselesaikan oleh pemerintah Jokowo-JK, sebut saja Tol Trans Jawa yang menghubungkan dua kota besar di Pulau Jawa, yakni Jakarta dan Surabaya. Adapun Tol Trans Sumatera yang diklaim akan menjadi tol terpanjang di Indonesia. Tidak hanya itu, adanya pembukaan bandara baru dan pengembangan tol laut juga ditujukan untuk mempermudah konetktivitas antarpulau.


Akan tetapi, masalah utama dari pembangunan infrastruktur sendiri adalah keterbatasan sumber pembiayaan yang dimiliki pemerintah. Seperti telah diketahui bahwa dalam RPJMN 2015-2019, kebutuhan pembiayaan infrastruktur untuk melaksanakan proyek strategis nasional (PSN) diperkirakan mencapai Rp 4.197 triliun.

Sedangkan porsi anggaran Pemerintah melalui APBN maupun APBD diperkirakan hanya Rp 1.978,6 triliun. Angka ini hanya mampu menutupi 47% dari total kebutuhan infrastruktur.


Akhi rnya pemerintah mencoba membuka sumber-sumber pembiyaan lain selain APBN. Pertama adalah penugasan yang diberikan kepada BUMN dengan dukungan dari pemerintah pusat dalam bentuk penanaman modal negara untuk menambah equity.


Kedua, yakni kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) maupun pembiayaan investasi non-anggaran (PINA). KPBU sendiri memiliki dua mekanisme pengadaan badan usaha, yakni pelelangan atau penunjukan langsung. Beberapa BUMN yang ikut terlibat dalam skema ini di antaranya BUMN Karya (PT Waskita Karya, PT Pembangunan Perumahan, PT Adhi Karya, dan PT Wijaya Karya).


Tingginya Suku Bunga

Apabila kita melihat kebutuhan dana infrastruktur yang besar ini, maka BUMN yang terlibat dalam PSN perlu menyiapkan dana yang sangat besar. Salah satu cara yang digunakan BUMN untuk meraup dana segar yaitu menerbitkan surat utang atau obligasi.


Sayangnya ongkos penerbitan obligasi oleh BUMN karya tidaklah murah, rata-rata yield atau imbal hasil yang ditawarkan untuk tenor 10 tahun BUMN Karya berkisar 9-10%. Tingginya imbal hasil obligasi BUMN karya juga harus bersaing dengan obligasi yang diterbitkan negara. Sampai April 2019 saja pemerintah telah menerbitkan surat utang hingga Rp 3.747 triliun dengan rata-rata imbal hasil selama lima tahun terakhir mencapai 7,6%. Rendahnya imbal hasil yang ditawarkan pemerintah karena obligasi negara berbentuk Surat Utang Negara (SUN) dijamin langsung oleh negara sehingga relatif lebih aman.


Di sisi lain, obligasi yang diterbitkan pemerintah sendiri sangat dipengaruhi oleh pergerakan suku bunga acuan. Selama periode Mei 2018 sampai dengan Mei 2019 ada tren pergerakan imbal hasil obligasi SUN mengikuti tren pergerakan suku bunga. Jadi, ketika suku bunga turun umumnya akan diikuti dengan penurunan imbal hasil dan begitupun sebaliknya ketika suku bunga naik imbal hasil juga ikut bergerak naik.


Alhasil, dengan kata lain suku bunga memainkan peran penting dalam menentukan mahal atau tidaknya pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Semakin tinggi suku bunga maka biaya penerbitan obligasi yang harus ditanggung oleh stakeholder yang terkait dengan pembangunan infrastruktur akan semakin mahal, begitupun sebaliknya. Sebagai ilustrasi, sejak Mei 2018, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 bps. Di sisi lain, imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun mengalami peningkatan sebesar 67 bps.


Sayangnya, rezim suku bunga di Indonesia saat ini relatif masih tinggi jika dibandingkan dengan Negara tetangga. Sebagai perbandingan, suku bunga acuan di Indonesia yang saat ini mencapai 6% lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia dan Vietnam yang suku bunga acuannya masing-masing sebesar 3% dan 4,25%.

Tingkat suku bunga yang tinggi menyebabkan Indonesia mengalami apa yang disebut high cost economy. Kondisi ini selain berdampak pada tingginya ongkos pembiayaan juga berdampak negatif pada usaha pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.


Oleh karenanya, usaha otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga perlu terus didukung. Sudah tentu penurunan suku bunga harus dibarengi dengan upaya tambahan berupa perbaikan struktural ekonomi Indonesia dan juga menambah daya saing Indonesia di kancah ekonomi global.

Semakin rendah suku bunga semakin murah ongkos pembiayaan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang terkait pembangunan infrastruktur. Kondisi ini penting bagi Indonesia yang masih akan terus melanjutkan pembangunan infrastruktur.




Fathya Nirmala Hanoum, Peneliti di Center of Reform on Economics (CORE)