Responsive image

Stimulus Kebijakan Fiskal Ekspansif

| Article | Monday, 24 June 2019

Pemerintah saat ini tengah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. Selain merilis target pertumbuhan ekonomi pemerintah juga menyampaikan garis besar target penerimaan dan belanja negara di tahun 2020.


Belanja negara diproyeksikan akan berada di kisaran 14%-15,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dari target belanja negara di tahun 2019 yang mencapai 15,3% terhadap PDB. Di sisi lain penerimaan negara terhadap PDB di targetkan meningkat menjadi 13,9% meningkat dibandingkan target penerimaan negara tahun ini yang mencapai 13,4% terhadap PDB. Penerimaan perpajakan masih akan menjadi pos utama untuk menopang penerimaan negara di tahun depan.


Dengan pola penerimaan dan belanja diatas pemerintah menargetkan kebijakan fiskal tahun depan bisa lebih ekspansif. Dalam tataran teoritis, kebijakan fiskal ekspansif umumnya dilakukan dengan menambah anggaran belanja negara dan menunrunkan tingkat pajak. Kebijakan ini dilakukan saat perekonomian mengalami penurunan daya beli dan angka pengangguran yang tinggi.


Umumnya kebijakan fiskal ekspansif selalu diikuti pelebaran defisit anggaran. Hal ini tidak terlepas dengan semakin besarnya belanja dan berkurangnya penerimaan. Yang menarik di Indonesia, khususnya pada RAPBN 2020, kebijakan fiskal ekspansif yang mendorong penambah belanja juga diikuti oleh target penerimaan yang lebih tinggi. Maka tidak heran target defisit anggaran di tahun 2020 berada di kisaran 1,75%-1,52% terhadap PDB lebih rendah dibandingkan target defisit tahun 2019 yang mencapai 1,84% terhadap PDB.


Padahal pemerintah masih punya ruang menambah defisit anggaran agar daya ungkit kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi lebih besar. Langkah pemerintah yang pelit dalam menambah ruang defisit anggaran tidak terlepas dari kekeliruan umum  terkait bertambahnya dan melebarnya defisit anggaran. Seringkali pelebaran defisit anggaran dianggap sebagai sesuatu yang selalu buruk. Padahal tidak seperti itu.


Menurut penelitian Keen (2001) pelebararan defisit anggaran dapat diartikan penciptaan uang di masa mendatang. Hal ini bisa terjadi jika defisit anggaran diperuntukkan untuk mendorong aktivitas ekonomi di masa mendatang. Beberapa negara juga sengaja melebarkan defisit anggaran untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi, sebagai contoh negara tetangga Vietnam.


Pada tahun 2010-2012 pertumbuhan ekonomi Vietnam menglami penurunan dari 6,4% (2010) menjadi 5,2% (2012), pemerintah Vietnam kemudian memutuskan untuk melebarkan defisit anggaran mereka dari 2% terhadap PDB menjadi 3,4% terhadap PDB. Alhasil pertumbuhan ekonomi secara bertahap naik menjadi 5,4% pada tahun 2013 dan 5,9% di akhir tahun 2014.


Bertolak dari hal ini, kebijakan fiskal ekspansif yang akan diusung pemerintah dalam RAPBN 2020 perlu mempertimbangkan pelebaran defisit anggaran diatas target 1,52% terhadap PDB yang didasarkan pada penambahan belanja produktif yang jauh lebih besar. Tujuannya agar kebijakan fiskal dapat memberikan stimulan yang lebih besar terhadap perekonomian. Toh, sedikit melebarnya defisit anggaran diperbolehkan undang-undang selama angka defisit anggaran berada dibawah 3% terhadap PDB.


Disamping itu, beberapa hal juga perlu diperhatikan pemerintah dalam menjalankam kebijakan fiskal ekpansif di tahun 2020. Pertama, memperbaiki kualitas belanja modal. Selama 5 tahun terakhir meski anggaran belanja modal selalu meningkat namun realisasinya selalu dibawah target. Terakhir pada tahun 2018 realisasi belanja modal hanya mencapai 68% terhadap target APBN 2018, jauh dibandingkan belanja rutin seperti belanja pegawai yang mencapai 87%. 


Rendahnya penyerapan belanja modal tidak terlepas dari lambatnya realisasi anggaran, sebagai contoh, sampai dengan April 2019 belanja modal tumbuh minus hingga -15% terkontraksi dibandingkan tahun lalu yang tumbuh minus -2%. Selain Sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi, Belanja modal menjadi komponen krusial bagi peningkatan Pendapatan Modal Tetap Bruto (PMTB).


Kedua, Menambah dan evaluasi anggaran bantuan sosial. Bantuan sosial telah terbukti menjadi salah satu alat untuk menjaga daya beli masyarakat khususnya kelas masyarakat menengah ke bawah namun beberapa evaluasi perlu dilakukan terkait penyalura bantuan sosial terutama dalam penyalurannya. Studi Badan Kebijakan Fiskal (2019) menemukan terdapat 40% golongan masyarakat berpenghasilan terendah yang tidak menerima bantuan apapun. Disisi lain, banyak masyarakat yang menerima bansos lebih dari 2 kali. Jika hal ini berlanjut, tentu daya ungkit bansos untuk menjaga daya beli masyarakat kelas bawah tidak akan maksimal.


Ketiga, insentif  tambahan untuk industri manufaktur. Dalam RAPBN 2020 pemerintah berencana tetap akan melanjutkan program pemberian tax holiday ataupun tax allowance bagi industri manufaktur. Namun dengan penurunan tren pertumbuhan investasi asing di sektor manufaktur khususnya dalam 2 tahun terakhir (2017: -7%, 2018: -16%), dan relatif kecinya pertumbuhan insentif perpajakan di tahun 2017, yang tumbuh 2% lebih kecil dibandingkan insentif pajak di sektor jasa yang mencapai 7%, tentu perlu ada insentif tambahan untuk industri manufaktur.


Beberapa diantaranya dengan menambah Penyerataan Modal Negara (PMN) khususnya ke perusahaan pelat merah yang bergerak di bisnis manufaktur yang strategis bagi perekonomian. Disamping itu, opsi pelonggaran setoran deviden negara bagi bank BUMN yang menyalurkan kredit ke sektor manufaktur yang melakukan ekspansi usaha juga bisa dipertimbangkan.


Terakhir yang tidak kalah penting ialah melakukan kordinasi dengan otoritas pemerintah lain. Pelebaran defisit anggaran juga perlu dibarengi dengan melakukan kordinasi dengan otoritas lain seperti moneter dan keuangan. Kordinasi ini untuk mengantisipasi efek samping yang ditimbulkan dari kebijakan fiskal ekspansif seperti semakin ketatnya perebutan likuditas dalam negeri sehingga memerlukan transmisi kebijakan dari moneter ataupun pasar keuangan. Menambah defisit anggaran tanpa kordinasi yang baik justru akan menambah masalah baru bagi perekonomian.

 

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh Yusuf Rendy Manilet dan juga dimuat di kolom opini hari Investor Daily (Jumat, 21 Juni 2019)