Responsive image

CORE economic Outlook 2019: Memperkuat Fundamental Ekonomi di Tengah Tekanan Global

| Outlook | Friday, 26 April 2019

CORE Economic Outlook tahun 2019 mengambil judul “Strengthening Economic Fundamentals amid Global Pressures atau “Memperkuat Fundamental Ekonomi di Tengah Tekanan Global” karena CORE meyakini dinamika ekonomi global yang menekan pertumbuhan ekonomi domestik pada tahun 2018 diprediksi masih akan berlanjut pada tahun 2019. Tekanan eksternal ini membuat upaya merealisasikan pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih baik di tahun 2019 menjadi semakin menantang. Padahal, tahun 2019 merupakan tahun yang krusial karena sejatinya menjadi tahun terakhir bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk membuktikan janji dan pencapaian target pembangunan sebagaimana yang disampaikan pada awal masa pemerintahan. Presiden Jokowi hanya punya kurang dari satu tahun lagi untuk membuktikan “Jokowi Effects” benar-benar ada dengan membuat perekonomian Indonesia tumbuh tidak biasa-biasa saja.

Meskipun sejumlah indikator ekonomi seperti tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, rasio gini serta tingkat inflasi, menunjukkan perbaikan yang cukup berarti dalam empat tahun terakhir, tak dapat dipungkiri bahwa sebagian capaian di bidang ekonomi hingga tahun 2018 masih meleset dari target yang dijanjikan. Yang paling kentara adalah realisasi pertumbuhan ekonomi yang jauh di bawah target 7%. Di tahun 2018, CORE berkeyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di bawah 5,2%, sesuai dengan prediksi pada CORE Economic Outlook 2018 pada bulan November tahun lalu.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, peningkatan harga minyak, pengetatan moneter, serta ketidakpastian yang diciptakan oleh perang dagang yang terjadi pada tahun ini telah memberikan dampak pada perekonomian nasional, di antaranya adalah pelebaran defisit transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar Rupiah. Dengan berlanjutnya tekanan-tekanan eksternal di tahun 2019, permasalahan ekonomi yang sama diprediksi masih akan membayang-bayangi perekonomian Indonesia tahun depan.

Daya dorong ekonomi global terhadap ekonomi domestik di tahun 2019 diprediksi masih terbatas. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa diperkirakan akan mengalami perlambatan di tahun depan. IMF memprediksikan pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan melambat dari 6,5% tahun ini menjadi 6,2% tahun 2019, AS melambat dari 2,9% menjadi 2,5%, sementara Uni Eropa melambat dari 2,2% menjadi 2,0%. Bahkan, pertumbuhan negara-negara ASEAN pun diprediksi melambat dari 5,3% menjadi 5,2%. Masih berlanjutnya efek perang dagang antara AS dan Tiongkok menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi dunia tahun depan.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang terbesar berpotensi menekan demand terhadap impor negara-negara tersebut. Pada saat yang sama, harga sejumlah komoditas, termasuk komoditas andalan Indonesia seperti kelapa sawit, batubara dan karet, cenderung melemah. Ditambah dengan efek kebijakan sejumlah negara-negara tujuan ekspor utama – seperti AS, Uni Eropa dan India – yang masih cenderung protektif, pertumbuhan ekspor Indonesia tahun depan berpotensi terus tertekan. Gejala pelemahan ekspor khususnya ke pasar utama sudah terlihat sejak tahun 2018. Pada periode Januari hingga Oktober 2018, ekspor nonmigas ke AS hanya tumbuh 3,7%, sepertiga dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 10,3%. Ekspor nonmigas ke Tiongkok memang masih tumbuh 22%, tapi capaian itu sebenarnya kurang dari separuh pertumbuhan ekspor pada periode yang sama tahun 2017.

Pelemahan nilai tukar Rupiah nampaknya tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekspor. Wajar saja, mengingat ekspor Indonesia sebagian besar masih merupakan ekspor komoditas yang lebih banyak terpengaruh oleh harga di pasar global. Padahal harga sejumlah komoditas ekspor andalan Indonesia terutama kelapa sawit dan karet di tahun 2018 mengalami penurunan signifikan. Sementara itu, pertumbuhan ekspor manufaktur malah jauh lebih lambat lagi, yakni hanya mencapai 5% berbanding ekspor komoditas yang mencapai 22% sepanjang Januari hingga Oktober tahun ini (year on year).

Manakala pertumbuhan ekspor masih tertekan, akselerasi impor yang terjadi pada tahun ini nampaknya masih akan sukar untuk dikendalikan di tahun depan. Pasalnya, dua faktor eksternal pendorong utama percepatan impor, yakni pelemahan Rupiah dan peningkatan harga minyak dunia, masih eksis di tahun 2019. Meskipun dalam sebulan terakhir harga minyak melemah akibat kebijakan dispensasi AS terhadap ekspor minyak Iran, potensi untuk kembali meningkat di tahun depan sangat besar sejalan dengan rencana negara-negara OPEC, khususnya Saudi, serta Rusia untuk melakukan production cut tahun depan.

Begitu pula tekanan terhadap Rupiah juga diprediksi masih berlanjut, meskipun relatif lebih jinak dibanding tahun ini. Sementara pelemahan Rupiah tidak banyak berdampak pada penguatan ekspor, pada sisi impor justru memiliki daya dorong yang sangat signifikan. Pasalnya, berbeda dengan struktur ekspor yang didominasi komoditas, struktur impor sangat didominasi oleh produk manufaktur, baik dalam bentuk barang konsumsi, barang modal, maupun bahan baku dan penolong industri.

Dalam kondisi defisit perdagangan yang masih akan sulit dijinakkan, konsumsi rumah tangga dan investasi mau tidak mau menjadi krusial untuk dapat mencegah perlambatan ekonomi tahun depan. Secara kumulatif sampai dengan triwulan ketiga tahun 2019, penanaman modal tetap bruto (PMTB) memang masih tumbuh 6,91%, lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun 2017 yang mencapai 5,75%. Sayangnya, investasi yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh paling tinggi mulai menunjukkan gejala perlambatan, khususnya penanaman modal asing (PMA). Data BKPM menunjukkan pertumbuhan PMA pada triwulan kedua dan ketiga tahun ini sudah mengalami kontraksi masing-masing sebesar -13% dan -20%.

Selain faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, momentum tahun politik di dalam negeri juga cenderung membuat para pelaku usaha melakukan wait and see mode. Sebagaimana terjadi pada tahun 2009 dan 2014, pertumbuhan investasi umumnya mengalami perlambatan pada tahun-tahun pemilu. Beberapa permasalahan teknis terkait dengan pengurusan perizinan seperti penerapan sistem online single submission yang belum terselesaikan juga berpotensi menahan laju investasi tahun depan.

Walaupun tumbuh lebih lambat, CORE meyakini penanaman modal tetap bruto di tahun 2019 masih berpotensi tumbuh di kisaran 5 - 6%. Investasi di sektor jasa diprediksi menjadi penopang pertumbuhan investasi tahun depan, di antaranya, investasi yang terkait dengan proyek-proyek infrastruktur. Anggaran belanja infrastruktur yang terkait ekonomi dalam APBN 2019 mencapai Rp 420,5 triliun, lebih besar dibanding anggaran tahun ini yang mencapai Rp 410 triliun. Investasi oleh BUMN diperkirakan tidak akan terlalu ekspansif mengingat BUMN-BUMN Karya yang banyak menjalankan Proyek Strategis Nasional menghadapi kendala dari sisi keuangan. Rata-rata debt to equity perusahaan-perusahaan tersebut sudah cukup tinggi sehingga sangat sulit untuk melakukan pembiayaan melalui utang. Namun demikian, potensi investasi swasta di sektor ini masih cukup prospektif. Sebagai contoh, komitmen investasi sebesar USD 13,6 miliar untuk 21 proyek infrastruktur yang ditandatangani dalam pertemuan IMF di Bali pada Oktober tahun ini.

Meskipun investasi pemerintah untuk pembangunan infrastruktur telah mendorong pertumbuhan investasi di sektor tersier, investasi di sektor sekunder (manufaktur) diperkirakan masih akan terus mengalami kontraksi. Kontraksi investasi di sektor ini yang terjadi sejak 2017 terus berlanjut hingga 2018. Selama tiga kuartal pertama tahun 2018, investasi sektor sekunder mengalami penurunan 24% untuk PMA dan 13% untuk PMDN, lebih kontraktif dibanding periode yang sama tahun 2017 yang masing-masing turun 23% (PMA) dan 3% (PMDN). Beberapa permasalahan yang menghambat investasi masih belum terpecahkan, di antaranya yang terkait dengan pembebasan lahan, tumpang tindih peraturan, dan lemahnya koordinasi yang berhubungan pendistribusian kewenangan dan pengambilan keputusan.

Untungnya, konsumsi rumah tangga sudah mulai menguat sejak triwulan kedua tahun ini dan diperkirakan relatif stabil hingga tahun depan walaupun ada tekanan pelemahan Rupiah. Indikasi menguatnya konsumsi rumah tangga terlihat dari sejumlah indikator. Di antaranya penjualan riil, penjualan kendaraan bermotor dan peningkatan proporsi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi. Indeks penjualan riil yang mengalami penurunan tajam sejak semester kedua 2016 telah menunjukkan pemulihan sejak triwulan kedua tahun 2018. Walaupun kemudian ada sedikit pelemahan pada triwulan ketiga, secara year on year tetap lebih tinggi dibanding triwulan yang sama tahun 2017. Penjualan kendaraan bermotor sepanjang Januari hingga September 2018 tumbuh 6,55% (mobil) dan 8,80% (sepeda motor), jauh lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya tumbuh 2,68% untuk mobil, bahkan kontraksi 0,26% untuk sepeda motor. Sejalan dengan itu, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi yang sempat turun hingga 63% pada Januari 2017, sejak triwulan kedua 2018 meningkat hingga mencapai 67,7% pada Oktober 2018. Sebaliknya proporsi pengeluaran untuk tabungan menurun dari 22,4% pada Maret 2018 menjadi 19,6% pada Oktober 2018.

CORE memprediksikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama ekonomi domestik masih bertahan pada level 5%. Sejumlah kebijakan pemerintah yang bertujuan mendorong peningkatan income dan daya beli diprediksi dapat menjaga tingkat konsumsi masyarakat. Antara lain, rencana penaikan gaji aparatur sipil negara (ASN) dan premi jaminan sosial bagi ASN, TNI dan POLRI, peningkatan bantuan sosial untuk rakyat miskin, serta kenaikan upah minimum. Selain itu, ajang pesta demokrasi di tahun depan diharapkan juga ikut mendorong konsumsi swasta. Alokasi belanja bantuan sosial, misalnya, meningkat 26,7% pada APBN 2019, setelah pada APBN 2018 meningkat 42,6%. Walaupun secara parsial efek dari masing-masing kebijakan tersebut terhadap keseluruhan konsumsi rumah tangga tidak terlalu besar[1], secara simultan tetap berpotensi memiliki daya dorong signifikan terhadap konsumsi rumah tangga di tahun depan.

 

Meski demikian, ada satu risiko yang berpotensi mengganggu stabilitas daya beli masyarakat di tahun 2019, yakni kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), termasuk BBM bersubsidi. Minimnya peningkatan alokasi anggaran subsidi energi pada APBN 2019 di tengah potensi peningkatan harga minyak dunia mengindikasikan bahwa harga BBM bersubsidi akan naik tahun depan. Apalagi di tahun ini saja anggaran subsidi energi membengkak dari yang sebelumnya dialokasikan dalam APBN 2018 lantaran harga minyak dunia yang meningkat lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Apabila harga BBM bersubsidi meningkat, maka kemungkinan peningkatan harga BBM non-subsidi lebih besar lagi di tahun depan. Jika hal itu benar terjadi, maka inflasi yang selama tiga tahun terakhir terjaga berpotensi akan kembali terkerek naik dan daya beli masyarakat secara keseluruhan pun akan tergerus. Jika tidak ada kenaikan harga BBM, inflasi sebenarnya dapat stabil pada kisaran 3,5%.

Dari sisi penawaran, beberapa sektor cukup prospektif di tahun 2019 meskipun pertumbuhannya diprediksi sedikit melambat, di antaranya, sektor perkebunan, perdagangan besar dan eceran, informasi dan komunikasi, konstruksi, jasa kesehatan, penyediaan akomodasi dan restoran, dan transportasi dan pergudangan. Untuk sektor manufaktur, industri makanan dan minuman, industri kimia dan farmasi, industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit dan alas kaki, dan industri alat angkutan berpotensi tumbuh cukup baik tahun depan.

Melemahnya demand dari negara-negara importir produk manufaktur Indonesia, berlanjutnya tekanan terhadap nilai tukar Rupiah, serta potensi kenaikan harga BBM masih menjadi faktor penekan kinerja manufaktur di tahun 2019. Meski demikian, konsumsi dalam negeri yang masih relatif stabil membuka ruang ekspansi bagi sektor ini tahun depan walaupun relatif marjinal. Sepanjang tahun 2018, purchasing managers index (PMI) menunjukkan ekspansi secara berturut-turut di sektor manufaktur sejak bulan Februari, tercermin dari nilai PMI yang berada di atas 50. Ekspansi sepanjang tahun ini didorong oleh peningkatan demand di dalam negeri, sebaliknya permintaan dari luar negeri justru mengalami penurunan sejak awal tahun. Namun demikian, meningkatnya tekanan terhadap Rupiah dalam beberapa bulan terakhir telah mendorong kenaikan biaya produksi dan menekan tingkat profitabilitas sektor manufaktur. Hal ini tercermin dari nilai PMI yang menunjukkan tren penurunan sejak bulan September. Meredanya tekanan akibat pelemahan Rupiah dan harga minyak pada bulan November berpotensi memperbaiki kinerja manufaktur paling tidak secara temporer, tetapi potensi tekanan dari dua faktor tersebut belum selesai hingga tahun 2019.

Di sisi fiskal, CORE meyakini kontribusi belanja pemerintah terhadap PDB masih cukup kuat di tahun depan, dengan pertumbuhan di kisaran 5%, atau lebih kurang setara dengan pertumbuhan di tahun 2018. Beberapa faktor yang mendorong pertumbuhan belanja pemerintah tahun depan antara lain peningkatan belanja kementerian/lembaga yang berhubungan penyelenggaraan pemilihan umum, peningkatan belanja sosial, serta rencana kenaikan gaji aparat sipil negara. Pertumbuhan belanja pemerintah ini ditunjang oleh potensi meningkatnya penerimaan pajak maupun non pajak yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi domestik. Potensi kenaikan harga minyak diperkirakan juga dapat memberikan windfall terhadap penerimaan APBN tahun depan.

Namun demikian, shortfall pajak di tahun 2019 berpotensi lebih tinggi dibanding tahun ini karena target penerimaan perpajakan yang meningkat 10%. Peningkatan tersebut tidak hanya lebih tinggi dibandingkan peningkatan target penerimaan perpajakan di tahun 2018 yang mencapai 8%, tetapi juga lebih tinggi dibanding potensi pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi tahun depan yang berada di kisaran 8 – 9%. Padahal, asumsi makro yang ditetapkan pada APBN 2019 cenderung lebih realistis dibandingkan dengan asumsi makro pada APBN 2018.

Jatuh tempo utang pemerintah di tahun 2019 yang mencapai Rp 254 triliun memang lebih rendah dibanding tahun ini yang mencapai Rp 347 triliun. Akan tetapi, risiko utang cenderung meningkat sejalan dengan masih berlanjutnya tekanan global, khususnya potensi peningkatan suku bunga acuan the Fed. Selain masih berpotensi mendorong pelemahan nilai tukar Rupiah, tekanan global juga berpotensi mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah. Padahal imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia yang saat ini sudah mencapai 8,62% (tenor 10 tahun) termasuk yang paling tinggi di antara negara-negara emerging markets.

Secara umum, CORE memandang pemerintah belum memanfaatkan instrumen fiskal secara optimal untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, manakala Indonesia dihadapkan pada permasalahan defisit transaksi berjalan, instrumen fiskal seperti pajak, subsidi, dll belum digunakan untuk penguatan industri manufaktur nasional. Belanja insentif untuk industri manufaktur hanya tumbuh 2% selama tahun 2016 – 2017. Demikian pula Insentif pajak untuk peningkatan daya saing, seperti untuk mendorong penelitian dan pengembangan (litbang), baru terbatas pada pemberian tax allowance. Padahal, insentif litbang yang diberikan negara-negara tetangga lebih beragam, mulai dari tax holiday, loan, hingga hibah.

Dari sisi moneter, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter selama tahun 2018 telah melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 175 basis poin untuk mengantisipasi dinamika global dan menahan laju pelemahan Rupiah. Suku bunga acuan Bank Indonesia pada akhir tahun diperkirakan berada di level 6,0%, sementara nilai tukar di kisaran 14.600 – 14.800.

Pada Tahun 2019, dengan kondisi global yang masih diliputi ketidak pastian karena perang dagang, harga minyak yang cenderung meningkat, dan ketatnya likuiditas global, sementara di sisi domestik perekonomian nasional masih diwarnai oleh defisit transaksi berjalan, nilai tukar Rupiah diperkirakan akan terus dalam tekanan pelemahan.