Responsive image

Industri Manufaktur di Simpang Jalan

| Outlook | Wednesday, 12 December 2018

Kondisi perekonomian yang melambat selalu menciptakan dilema bagi pengambil kebijakan. Apabila pemerintah ingin pertumbuhan meningkat maka sektor industri harus didorong. Tetapi ibarat dua sisi mata uang yang berlawanan, apabila industri tumbuh, impor bahan baku dan jasa logistik akan naik sehingga memicu defisit neraca perdagangan.

Di sisi lain, apabila industri stagnan maka dikhawatirkan makin banyak produk impor yang masuk. Ini juga akan membuat rapor current account menjadi merah. Ini adalah sebuah persimpangan rumit yang harus dilalui pemerintah. Pembuat kebijakan harus pintar mencari celah, bagaimana menghindari defisit current account tetapi pada saat yang sama dapat memberi angin pada sektor industri.

Melihat gejalanya, tahun depan pertumbuhan industri manufatur akan marjinal di angka 4.26 - 4.3 persen. Itu prediksi kami di Core Indonesia. Sampai kwartal ketiga tahun ini saja pertumbuhannya masih di angka 4,32 persen, ada perlambatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Industri manufaktur merupakan salah satu tumpuan perekonomian nasional, maka perlakuannya harus istimewa. Apalagi program Presiden Joko Widodo pada tahun pertama dahulu adalah mendorong sektor industri. Tetapi nyatanya sampai sekarang tidak ada pertumbuhan yang signifikan.

Terdapat banyak komponen yang menjadi alasan kami tak mematok pertumbuhan tinggi untuk industri manufaktur. Tahun depan biaya produksi akan melonjak oleh potensi naiknya harga BBM, terutama BBM industri. Pelemahan rupiah juga masih akan memberi pengauh pada biaya produksi.

Komponen penghambat berikutnya adalah masalah di pelabuhan yang sampai sekarang belum tuntas meskipun dwelling time sudah berhasil diturunkan drastis. Saran saya, sebaiknya pemerintah mulai berpikir menyiapkan terminal kontainer internasional yang baru. Pelabuhan Tanjung Priok untuk bongkar muat bahan baku saja, sedangkan barang konsumsi dialihkan ke pelabuhan lain. Langkah ini meski mahal pada awalnya, tetapi secara permanen akan menghemat biaya logistik.

Tahun depan permintaan global akan menurun karena pelemahan ekonomi sehingga neraca ekspor akan terdepresiasi. Lagi-lagi industri manufaktur yang paling terkena dampaknya karena dalam kondisi global yang lesu, investasi sektor industri bisa dipastikan menurun. Situasi dalam negeri juga kurang mendukung ketika insentif pajak manufaktur hanya tumbuh 2% pada dua tahun terakhir. Pemerintah seolah tak merasa iba meskipun manufaktur itu memiliki kontribusi pajak tertinggi sampai 31.8 %. Sektor manufaktur juga menjadi pejuang tenaga kerja terutama pada sektor padat karya.

Tahun 2019 peringkat indeks kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) Indonesia turun satu tingkat ke posisi 73 dari 190 negara. Dalam laporan Doing Business 2019 yang dikeluarkan World Bank Oktober 2018 lalu, meski turun ranking indeks Indonesia naik tipis dari 66,47 menjadi 67,96.Bank Dunia menilai Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa reformasi di sejumlah kategori, yaitu starting a business atau memulai usaha, pendaftaran properti atau registering property dan getting credit atau akses terhadap kredit perbankan. Namun negara-negara lain berlari lebih cepat.

 

Kebijakan perizinan terpadu Online Single Submission yang dicanangkan pemerintah pada kenyataannya belum berjalan sesuai harapan. Saya mendengar dari Jawa Barat, antar institusi ternyata masih bingung tentang peran masing-masing. Hal ini dapat menghambat proses perizinan dan investasi, termasuk manufaktur.

Kebijakan fiskal dan restitusi pajak belum cukup mendukung tumbuhnya sektor manufaktur karena penerapan Non Tariff Measures (NTM ) dan Tingkat Kandungan dalam Negeri (TKDN) untuk menghambat impor belum maksimal. Kita ini negara paling sedkit menerapkan kebijakan tarif impor dibandingkan yang lain. Kalau produk asing mau ekspansi seharusnya banyak sekali persyaratan atau hambatan yang dibikin supaya mereka tidak begitu mudah masuk.

Harga energi (gas industri) yang masih mahal dibanding negara lainnya juga menjadi sumbatan lainnya. Sementara persoalan lama tentang SDM tak siap pakai dan UMP juga masih menjadi kendala karena tahun depan pastinya akan ada kenaikan upah provinsi. Dengan kondisi ekonomi yang lambat, makan akan berat dipikul oleh pengusaha. Maka bisa dikatakan, secara umum sebenarnya kita belum sejalan dalam hal sinkronisasi kebijakan.

Di bidang manufaktur sebenarnya masih ada yang bertumbuh yaitu industri makanan-minuman, tekstil, dan alat angkutan, termasuk kendaran bermotor. Meskipun nilai investasinya tidak semenggembirakan di tahun 2018 tapi mereka naik secara positif. Share investasi industri yang terbanyak ada di industri makanan-minuman. Khusus sektor makanan-minuman dan tekstil, tahun depan akan diuntungkan dengan pesta demokrasi dan program bantuan sosial. Sedangkan sektor alat angkutan akan terdorong tumbuhnya transportasi online. Sebuah kabar baik, tahun depan akan dimulai kerjasama antara Indonesia dengan Malaysia dalam produksi mobil Asean dengan target 650 juta kendaraan sampai tahun 2020.