Responsive image

Refleksi 16 Paket Kebijakan Ekonomi

| Article | Wednesday, 31 October 2018

Siapa Jokowi? Kita tidak mengenal nama Joko Widodo (Jokowi) pada periode krisis 1997/1998. Kita juga tidak menemukan namanya saat kita mengalami periode sulit di awal rezim reformasi. Sebagian dari kita baru mengenal sosok Jokowi setelah tahun 2005 ketika ia sebagai walikota Solo mampu secara damai merelokasi para pedagang kaki lima, sementara di berbagai kota lain relokasi pedagang kaki lima selalu memunculkan konflik.

Setelah itu perlahan nama Jokowi terpatri di hati banyak orang sebagai sosok potensial pemimpin bangsa ini. Rentang waktu 13 tahun terlalu singkat untuk kita bisa mengenal Jokowi secara utuh terutama tentang pemikirannya bagaimana membangun perekonomian Indonesia.

Jokowi sebelum menjadi walikota Solo adalah pengusaha yang tumbuh dari level terendah. Ia membangun bisnis dari nol. Berbeda dengan banyak pengusaha yang hanya melanjutkan kisah sukses orang tua, Jokowi harus berdarah-darah merintis bisnis mebel miliknya.

Tidak heran bila ia sangat tahu semua detail yang harus ia kerjakan, mulai dari memilih dan membeli kayu, mengolahnya menjadi mebel, mengelola keuangan, hingga berurusan dengan semua birokrasi perizinan. Jokowi tidak hanya mampu menjajakan produknya di dalam negeri tapi ia juga sanggup melanglang buana mencari pembeli di mancanegara dengan bekal bahasa Inggris yang kata orang sangat “ndeso” itu.

Dengan semua pengalamannya, tidak berlebihan bila dikatakan Jokowi adalah orang yang sangat tahu apa yang dibutuhkan pengusaha, sekaligus juga tahu apa yang dibutuhkan oleh perekonomian, karena perekonomian dibentuk oleh para pengusaha.

Dalam berbagai kesempatan Jokowi selalu menyampaikan keprihatinannya akan posisi daya saing Indonesia yang rendah dan kalah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Jokowi kerap menyampaikan bahwa untuk memperkuat daya saing kita harus memperbaiki kemudahan berusaha dengan menata sebaik-baiknya semua proses perizinan.

Jokowi juga yang mengatakan dunia usaha tidak mungkin memiliki daya saing yang kuat tanpa ketersediaan infrastruktur. Pandangan dan keyakinan Jokowi tentang dunia usaha yang terbangun dalam rentang waktu panjang kemudian menjadi arah kebijakannya saat ia menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Setidaknya hal itu terlihat dalam berbagai kebijakan ekonomi selama empat tahun terakhir yang tertuang dalam 16 paket kebijakan. Paket kebijakan pertama yang dirilis pada bulan September 2015 atau setahun setelah Jokowi berkuasa memiliki tiga fokus, dua di antaranya adalah mendorong daya saing dan mempercepat proyek strategis nasional pembangunan infrastruktur.

Paket kebijakan pertama ini dengan cepat diikuti berbagai paket kebijakan lanjutan hingga total menjadi 16 paket. Paket kebijakan ekonomi Jokowi dapat dibedakan berdasarkan tujuannya menjadi tiga kelompok besar, yaitu: paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi dalam rangka penyederhanaan perizinan (8 paket kebijakan), paket kebijakan mendorong pertumbuhan investasi dengan memberikan insentif pajak maupun insentif non-pajak (5 paket), serta paket kebijakan mendorong percepatan pembangunan infrastruktur (6 paket).

Perlu dicatat bahwa satu paket kebijakan ekonomi Jokowi kadangkala memiliki dua atau tiga tujuan secara bersamaan, sehingga total paket kebijakan dalam pengelompokan ini lebih dari 16 paket.

Selain tiga kelompok besar tersebut ada beberapa paket kebijakan yang memiliki tujuan khusus, yaitu paket kebijakan untuk mendorong UMKM khususnya melalui penyaluran KUR (3 paket kebijakan), paket kebijakan penyediaan rumah untuk masyarakat berpendapatan rendah (1 paket), dan paket kebijakan tentang roadmap e-commerce (1 paket).

Dari tiga kelompok besar paket kebijakan ekonomi Jokowi di atas, adalah paket kebijakan mendorong percepatan pembangunan infrastruktur yang paling jelas dan terukur pencapaiannya. Semua pihak mengakui bahwa Jokowi berhasil melakukan percepatan pembangunan infrastruktur secara merata di berbagai pelosok Tanah Air.

Hitung saja berapa kilometer panjang jalan tol dan non-tol yang dibangun Jokowi di seluruh Tanah Air, berapa bendungan, pelabuhan, serta bandara yang bisa diwujudkan, dan berapa proyek pembangkit listrik yang bisa diselesaikan. Belum lagi pembangunan di daerah perbatasan atau di daerah terluar Indonesia. Terlepas dari kontroversi di kalangan elite tentang tepat tidaknya membangun infrastruktur, survei kepuasan yang dilakukan oleh berbagai lembaga menunjukkan bahwa keberhasilan membangun infrastruktur adalah kunci kepuasan masyarakat kepada Jokowi.

Di sisi lain, paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi dalam rangka penyederhanaan perizinan, serta paket kebijakan mendorong investasi sepertinya tidak membuahkan hasil yang sesuai harapan.

Benar bahwa di era Jokowi peringkat daya saing Indonesia mengalami perbaikan, demikian juga dengan peringkat ease of doing business, serta biaya logistik. Semua membaik. Tetapi semuanya menjadi kurang berarti ketika kita melihat angka investasi yang stagnan.

Paket-paket kebijakan yang demikian banyak dan focus ternyata tidak mampu membuat pertumbuhan investasi melonjak signifikan. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi tertahan di kisaran 5%. Tidak ada Jokowi Efek dalam hal pertumbuhan ekonomi.

Paket Kebijakan ke-16: Antiklimaks

Paket kebijakan ke-16 adalah lompatan besar di bidang perizinan. Paket ini berujung pada penerapan sistem online single submission (OSS) pada bulan Juni 2018. Dengan diterapkannya sistem OSS, semua perizinan yang sudah tercakup dalam OSS tidak bisa lagi dikeluarkan oleh kementerian, lembaga dan pemda. Hampir semua perizinan harus melalui sistem OSS.

Celakanya, sistem OSS tidak berjalan sempurna. Proses perizinan yang tadinya dengan OSS diharapkan bisa selesai dalam hitungan jam, justru berlarut-larut bahkan menyebabkan frustasi di kalangan dunia usaha. Banyak pengusaha yang kemudian menghentikan proses perizinan, yang berarti juga menghentikan proses investasi. Panjangnya antrean di help desk OSS di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi menggambarkan besarnya permasalahan yang timbul pascapenerapan OSS.

Selain mengakibatkan terhambatnya proses perizinan, penerapan sistem OSS juga berpotensi memunculkan permasalahan hokum yang bisa berdampak buruk bagi reputasi pemerintah. Paket kebijakan ke-16, khususnya penerapan OSS, adalah antiklimaks upaya Jokowi membenahi perizinan dan kemudahan berusaha. 16 Paket Kebijakan Ekonomi adalah refleksi keyakinan Jokowi tentang bagaimana membangun perekonomian Indonesia.

Ada yang berhasil dan banyak juga yang masih perlu diperbaiki. Tetapi satu yang pasti, siapa pun yang terpilih dalam pemilu presiden yang akan datang, tugas utamanya adalah melanjutkan apa yang sudah dikerjakan dengan sangat baik oleh Jokowi. Perbaikan perizinan dan kemudahan berusaha harus tetap dilanjutkan agar kita bisa memacu tingkat investasi. Demikian juga dengan pembangunan infrasruktur. Ini adalah PR untuk presiden

 

dan dimuat di kolom opini harian Investor Daily (26 Agustus 2018)