Responsive image

Mengatasi Aral Besar Pemulihan Industri

| Article | Wednesday, 04 July 2018

Tekanan terhadap kinerja industri manufaktur nasional tampaknya belum mereda di tahun ini. Setelah menghadapi tantangan pelemahan permintaan pasar domestik sehingga banyak pelaku industri yang terpaksa harus mengerem produksinya di tahun lalu, di tahun ini tekanan dari luar justru meningkat.

Meskipun permintaan pasar domestik sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan, pelemahan nilai tukar rupiah, peningkatan harga minyak serta pengetatan impor yang dilakukan banyak negara mitra dagang Indonesia berpotensi menghambat perbaikan kinerja industri di tanah air.

Dalam kondisi demikian, pertumbuhan industri manufaktur pada tahun ini, meski berpotensi lebih tinggi dibanding tahun lalu yang mencapai 4,27%, masih akan sulit menembus 5% sebagaimana harapan pemerintah.

Akibat masih lemahnya pertumbuhan sektor manufaktur yang notabene merupakan penyumbang terbesar PDB nasional, pertumbuhan ekonomi di tahun ini pun diperkirakan sangat sulit mencapai angka 5,2%, apalagi mencapai 5,4% sebagaimana target APBN 2018.

Sepanjang paruh pertama tahun ini, pasar domestik sebenarnya sudah mulai menunjukkan pemulihan. Purchasing Managers’ Indeks Indonesia yang dirilis Nikkei pada Mei mencapai 51,7 yang merupakan angka tertinggi dalam empat tahun terakhir. Capaian indeks di atas 50 menunjukkan peningkatan output atau ekspansi industri manufaktur, dan sepanjang tahun ini ekspansi sudah terjadi selama empat bulan berturut-turut sejak Februari.

Peningkatan permintaan barang di pasar domestik dan tumbuhnya usaha-usaha baru menjadi faktor pendorong ekspansi tersebut.

Sayangnya, sejumlah faktor eksternal tahun ini justru menekan daya saing dan menahan ekspansi industri manufaktur lebih jauh. Pelemahan nilai tukar rupiah yang hingga pekan lalu sempat menembus Rp 14.400 per dolar mendorong peningkatan biaya input industri domestik, khususnya industri yang bergantung pada bahan baku impor seperti industri farmasi, tekstil, otomotif dan elektronika.

Peningkatan biaya input ini umumnya akan direspon oleh industri dengan menaikkan harga. Memang, selain mendorong peningkatan impor, pelemahan nilai tukar rupiah semestinya juga mampu mendorong ekspor yang lebih kompetitif. Sayangnya, struktur ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas yang lebih banyak dipengaruhi oleh harga di pasar global.

Berbeda halnya dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam yang lebih didominasi oleh ekspor produk manufaktur. Celakanya, harga komoditas di pasar dunia, khususnya komoditas andalan Indonesia, seperti minyak sawit, karet, bahkan batubara, di tahun ini tidak tumbuh sekuat tahun lalu yang mendorong lonjakan ekspor Indonesia pada 2017, sehingga menghasilkan surplus perdagangan cukup besar.

Reaksi Bank Indonesia yang menaikkan tingkat suku bunga acuan secara aktif memang dapat menahan laju pelemahan rupiah lebih dalam. Namun bagai buah simalakama, pengetatan moneter ini di sisi lain mempersulit penyaluran kredit ke sektor riil, termasuk ke industri manufaktur.

Padahal banyak industri, khususnya industri kecil yang masih mengalami kesulitan akses keuangan, baik untuk modal kerja maupun investasi.

Kedua, peningkatan harga minyak di pasar dunia yang mendorong pembengkakan biaya energi untuk produksi. Meskipun gradual, harga minyak terus beranjak naik dari US$30 per barel pada Januari 2016 hingga mencapai US$71 per barel (WTI) pada pekan lalu.

Di sisi lain harga minyak Brent malah sudah mencapai US$79 per barel. Meningkatnya ketegangan politik global termasuk pengenaan sanksi AS terhadap Iran berpotensi mengerek harga minyak lebih tinggi hingga tahun depan. Kondisi ini semakin menekan daya saing industri manufaktur akibat peningkatan biaya produksi.

Selain kedua faktor di atas, meningkatnya proteksi perdagangan yang dilakukan mitra-mitra terbesar Indonesia seperti AS, Uni Eropa dan India juga berpotensi menahan laju pertumbuhan ekspor Indonesia, tidak hanya komoditas tetapi juga produk-produk manufaktur.

Meskipun IMF memprediksi PDB dunia tahun ini tumbuh 3,9%, lebih tinggi dibanding 2017 (3,8%), tampaknya pertumbuhan permintaan global tersebut belum cukup kuat mendorong ekspor Indonesia.

Nikkei melaporkan pada saat permintaan domestik dalam beberapa bulan terakhir meningkat, permintaan ekspor untuk industri manufaktur domestik justru menurun sejak enam bulan lalu.

Sepanjang Januari—Mei tahun ini, ekspor nonmigas Indonesia hanya tumbuh 9,8% dibanding periode yang sama tahun lalu, jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan Januari—Mei tahun lalu yang mencapai 20,1% secara year on year.

Pertumbuhan ekspor manufaktur bahkan lebih rendah lagi, hanya 6,16% pada periode yang sama tahun ini, juga jauh lebih rendah dibanding pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (16,22%).

Di sisi lain, impor tumbuh jauh lebih cepat, yakni 24,75% pada Januari—Mei. Akibatnya, defisit perdagangan Indonesia mencapai US$2,8 miliar secara year to date. Padahal pada periode yang sama tahun lalu neraca perdagangan kita surplus hampir US$6 miliar. Eskalasi perang dagang antara AS dan China yang telah pula merambah ke negara-negara lain berpotensi makin mendorong peningkatan impor, khususnya akibat pengalihan ekspor China. Jika itu terjadi, defisit perdagangan akan semakin lebar dan ekspansi industri manufaktur pun makin tertahan.

Mengatasi Tekanan Eksternal

Dalam kondisi di mana tekanan eksternal meningkat, memaksimalkan potensi pasar dalam negeri Indonesia yang sangat besar menjadi strategi yang amat penting dalam mendorong pertumbuhan industri manufaktur.

Terbukti saat permintaan ekspor melemah, permintaan domestik tahun ini mampu menyelamatkan performa sektor manufaktur sehingga masih mampu melakukan ekspansi. Untuk itu, kebijakan-kebijakan perdagangan yang mendorong daya saing dan peningkatan akses pasar bagi produk-produk manufaktur di dalam negeri berperan amat penting.

Beberapa kebijakan seperti pengenaan pajak dan bea masuk untuk impor bahan baku industri dan ekspansi cukai ke sejumlah produk manufaktur perlu dihindari agar tidak semakin menekan daya saing.

Bagi pelaku industri, meningkatnya tekanan eksternal yang berimbas pada peningkatan biaya produksi tentunya juga mesti direspon dengan terus memacu efisiensi dan inovasi.

Namun, dengan memburuknya kinerja neraca perdagangan kita di tahun ini, fokus pada pasar domestik semata tentu saja tidak cukup. Defisit perdagangan yang melebar dalam enam bulan terakhir harus diatasi dengan terobosan untuk mendorong pertumbuhan ekspor, khususnya ekspor manufaktur.

Untuk itu, mutlak dibutuhkan upaya transformasi yang lebih serius terhadap struktur ekspor yang saat ini lebih separuhnya masih berupa ekspor komoditas, menjadi struktur yang dominan produk manufaktur dan bernilai tambah lebih tinggi.

Selain upaya-upaya mendongkrak daya saing industri manufaktur secara komprehensif dan terintegrasi, upaya mendorong ekspor melalui trade diplomacy perlu diperkuat agar dapat menangkal tuduhan dari negara-negara mitra dagang.

Eskalasi perang dagang juga semestinya dapat direspon dengan mencari dan memanfaatkan secara maksimal peluang ekspor di pasar negara-negara yang bertikai, yakni AS dan China. Terakhir, langkah-langkah untuk memperluas penetrasi ekspor ke pasar nontradisional perlu dimaksimalkan, mengingat masih sangat rendahnya pertumbuhan ekspor ke negara-negara ini.

Seluruh pemangku kepentingan harus memperkuat kerjasama dan koordinasi untuk melakukan perubahan mendasar dan mendongkrak kinerja industri manufaktur nasional.

Pasalnya, sektor manufakturlah yang menjadi kunci dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, penciptaan lapangan kerja yang luas, serta mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

 

 

Artikel ini ditulis oleh Mohammad Faisal (Direktur CORE) dan dimuat di kolom Opini harian Bisnis Indonesia (03/07/2018)