Responsive image

Sinyal Siaga The Fed

Fathya Nirmala Hanoum | Article | Sunday, 05 September 2021

Wacana The Fed untuk kembali menaikkan suku bunga acuan pada 2023 menuai banyak respons. Respons paling kentara datang dari bursa saham global. Pada perdagangan Rabu, 16 Juni, bursa saham Amerika Serikat (AS) mengalami koreksi perdagangan, dan ditutup melemah. Hal ini juga berdampak pada fluktuasi pasar uang, dan meningkatnya imbal hasil pemerintah AS.

Yang mengejutkan lagi, sebetulnya, bukan hanya rencana The Fed soal suku bunga yang naik lebih cepat dari perkiraan pasar, tetapi juga rencana The Fed melakukan tapering off, atau pengurangan stimulus ke pasar. Berita ini sudah mulai merebak sejak rilisnya indikator-indikator ekonomi AS pada Mei 2021. Kondisi ini menjadi isyarat awal bagi The Fed untuk mulai mengubah arah kebijakannya pasca-pandemi.

Seperti diketahui, The Fed telah mempertahankan kisaran target untuk suku bunga acuannya berada pada rentang 0 hingga 0,25 persen sejak Maret 2020 lalu. Keputusan ini diambil sejalan dengan langkah otoritas moneter AS dalam mendukung pemulihan ekonomi akibat pandemi yang melanda dunia hampir dua tahun belakangan ini. Per Mei 2021, tingkat suku bunga acuan The Fed berada di level 0,06 persen.

Di samping menerapkan kebijakan moneter konvensional, The Fed juga menjalankan stimulus moneter dengan melakukan pembelian surat berharga. Hal yang sama sebenarnya juga dilakukan The Fed pada 2008, ketika AS mengalami resesi ekonomi akibat subprime mortgage. Kebijakan Quantitative Easing menjadi langkah yang diambil The Fed selama kurang lebih lima tahun untuk memulihkan ekonomi. Pada 2020, The Fed kembali melakukan hal yang sama dan bermuara pada peningkatan balance sheet The Fed. Terlihat bahwa nilainya kian hari kian meningkat. Dari USD4,31 triliun pada Maret 2020, menjadi USD7,92 triliun dalam kurun waktu 14 bulan.

Menaikkan kembali suku bunga acuan dan melakukan tapering off tentu bukan sebuah keputusan yang tidak berdasar. Para pejabat Federal Reserve melihat pemulihan ekonomi sudah mulai berjalan di AS dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa di antaranya terlihat dari penurunan tingkat pengangguran, menjadi 5,8 persen pada Mei 2021, dari 14,8 persen pada April 2020. Selain itu, tingkat inflasi inti sebesar 3,8 persen berada pada level tertingginya dalam 10 tahun terakhir. Atas dasar ini, The Fed mantap mengambil langkah untuk menaikkan proyeksi inflasi AS pada 2021 menjadi 3,1 persen dari proyeksi periode sebelumnya, sebesar 2,2 persen.

Potensi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari perkiraan membawa respons beragam, terutama bagi pengambil kebijakan negara lain. Kondisi ini, terutama, menyasar psikis pasar keuangan dan respons kebijakan di masa depan.

Fokus Pemulihan

Apabila kita menengok sedikit ke belakang, memang langkah The Fed melakukan pengurangan stimulus pada 2013 menimbulkan kegaduhan di pasar keuangan. Hal ini membuat dollar AS kembali perkasa hingga memunculkan istilah “Taper tantrum” yang mendorong capital outflow di beberapa negara. Aksi greenback ini terjadi pula di Indonesia dimana membuat tertekannya rupiah akibat goncangan di pasar keuangan. 

Tentu, hal tersebut sangat tidak diharapkan untuk terjadi saat ini. Terutama, di saat kondisi ekonomi domestik belum sepenuhnya pulih. Hal ini bisa terlihat dari kebijakan moneter yang masih ekspansif. Per Juni 2021, BI masih menahan suku bunga acuan pada level 3,5 persen. Penahanan suku bunga ini masih sejalan dengan tujuan pemulihan ekonomi dengan mencoba untuk membantu proses pemulihan ekonomi agar bisa konsisten terjadi.

Lalu dengan kenaikan suku bunga The Fed dan tapering off memunculkan pertanyaan mengenai langkah kebijakan Bank Indonesia ke depan. Akankah BI kembali menaikkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat? Yang jelas dibandingkan periode Taper tantrum sebelumnya, The Fed tentu akan lebih berhati-hati untuk tidak menimbulkan kegaduhan di pasar keuangan. The Fed akan mengambil langkah terukur dan masih melihat perkembangan kondisi pemulihan ekonomi AS di paruh kedua 2021. Menurut hemat penulis, BI juga tidak akan terburu-buru untuk menaikkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat.

Namun langkah preventif tentu diperlukan dalam mengantisipasi beberapa skenario terburuk dari langkah tapering off dari The Fed. Dari sisi kebijakan moneter sendiri, pemerintah perlu melihat efektivitas dari beragam kebijakan moneter yang sudah dilakukan. Sejauh ini Bank Indonesia sudah berusaha terjun dalam pemulihan ekonomi melalui ekspansi moneter, memaksimalkan kebijakan makroprudensial dan melakukan skema burden sharing bersama pemerintah. Namun instrumen suku bunga BI kepada perbankan masih belum bisa menggerakkan ekonomi secara maksimal.

Dari sisi kebijakan fiskal, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencapai Rp 699,43 triliun perlu terus dimaksimalkan. Realisasi anggaran PEN per 28 Mei 2021 baru mencapai 27,9% dari pagu anggaran.  Melihat nilai realisasi masih cukup rendah dalam 5 bulan terakhir tentunya pemerintah perlu terus mendorong penyerapan anggaran terutama pada sektor prioritas.

Dalam hal ini sektor kesehatan perlu menjadi fokus utama dalam peningkatan realisasi anggaran. Ancaman second wave sudah mulai terlihat setelah libur Idulfitri dan merebaknya varian delta (dari India) di beberapa daerah. Bahkan, sejak akhir Juni setiap harinya Indonesia terus mencatatkan rekor penambahan kasus harian dan meningkatnya angka kematian pasien. Pemerintah perlu bergerak cepat dalam melakukan tracing, testing, vaksinasi, dan terus mengingatkan kepatuhan akan penerapan protokol kesehatan di masyarakat.

Terakhir yang perlu diperhatikan juga yaitu menjaga momentum surplus pada neraca dagang yang saat ini sedang terjadi di dalam negeri. Kalaupun harus defisit, level defisit neraca dagang tidak sangat besar sehingga kemudian akan berdampak pada meningkatnya defisit pada neraca transaksi berjalan. Seringkali defisit pada transaksi berjalan akan ikut menjadi pertimbangan Bank Indonesia dalam menurunkan atau menaikkan suku bunga. Dengan terjaga nya level defisit ini, diharapkan Bank Indonesia punya ruang yang cukup ketika menyusun kebijakan suku bunga acuan.