Responsive image

Mengawal SWF Indonesia

Rasi Tamadhika F.R | Article | Monday, 01 February 2021

Permasalahan modal yang terbatas membuat beragam upaya dilakukan pemerintah untuk mencari sumber pendanaan baru yang lebih masif. Salah satu upaya yang dilakukan adalah membentuk lembaga khusus bernama Indonesia Investment Authority (INA), lembaga baru yang diharapkan mampu menjadi kendaraan finansial untuk memacu pembangunan. Pembentukan sovereign wealth fund (SWF) dari Indonesia ini didasari oleh Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi (LPI) sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja. Indonesia bukanlah negara pertama yang menggunakan SWF sebagai sarana permodalan. Sudah ada negara lain yang telah memanfaatkan SWF ini. Tipikal negara yang membuat SWF adalah produsen besar minyak bumi atau memiliki cadangan devisa yang banyak, sehingga memiliki ekses pendanaan. Dalam pada itu, alih-alih dananya menganggur di dalam negeri maka SWF ini dipercaya melipatgandakan uang yang berlebih tersebut untuk diinvestasikan ke berbagai instrumen. Indonesia sudah tidak lagi menjadi negara yang bisa bergantung pada minyak sejak menjadi net importir pada 2003. Di sisi lain, cadangan devisa pada Desember 2020 yang mencapai US$135,9 miliar cukup untuk pembiayaan impor selama 10 bulan. Meski sudah melebihi standar internasional dalam memenuhi pembiayaan 3 bulan impor tetapi masalah kondisi neraca dagang yang sering kali mengalami defisit membuat cadangan devisa menjadi rentan. Selain itu ruang fiskal untuk pemenuhan pembiayaan dalam menggerakkan pembangunan masih jauh dari cukup. INA dapat menjadi sumber pendanaan baru yang selama ini sangat bergantung pada APBN dan BUMN. Tendensi SWF selalu berasal dari negara dengan kelebihan uang pun tidak sepenuhnya tepat. SWF digunakan pula sebagai solusi baru oleh negara-negara yang mengalami defisit pembiayaan dan memiliki utang yang besar untuk mendapatkan sumber permodalan. Model SWF ini berusaha menarik dana ke dalam negeri dan bisa saja itu berasal dari SWF negara lain yang memiliki ekses pendanaan. Seperti diketahui, INA diperuntukkan untuk menarik modal dari luar guna membiayai proyek di dalam negeri, khususnya proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan tol dan pelabuhan. Lebih-lebih pembangunan dalam rangka mendorong efisiensi mobilitas, konektivitas dan jaringan guna menguatkan digitalisasi masih sangat diperlukan, khususnya untuk daerah di luar Jawa. Apalagi model SWF untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur sudah diterapkan oleh India dan Bangladesh dimana sejauh ini bisa berjalan cukup baik. Selain untuk pembiayaan infrastruktur, SWF dapat pula dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti dilakukan Norwegia dan Singapura. SWF dari Singapura, yakni Temasek mampu membantu mengangkat status negara itu yang dulu merupakan salah satu negara miskin di dunia menjadi negara kaya. Meskipun begitu, terbentuknya INA bukanlah tanpa kekhawatiran. Apalagi, tanpa pengawasan yang baik lembaga ini rentan disalahgunakan. Pemerintah memang sudah merancang pembentukan dewan pengawas. Namun, bagaimana dewan pengawas dan INA berjalan, tentu masih menjadi pertanyaan dan bisa saja menimbulkan perdebatan. Skandal 1MDB (One Malaysia Development Berhad) dapat menjadi lesson learned bagi tiap negara yang ingin memiliki SWF sendiri. 1MDB juga bukan tanpa pengawasan, bahkan pengawasannya langsung di bawah Perdana Menteri Malaysia saat itu, Najib Tun Razak. Namun, justru dia sendiri yang terlibat dan menjadikan 1MDB sebagai lembaga pencucian uang. Pertanyaan berikutnya, siapa lagi yang akan mengawasi dewan pengawas? Ditambah lagi dengan bayang-bayang permasalahan klasik yang sering terjadi dalam proses investasi. Misalnya seperti sulitnya pembebasan lahan yang menghambat realisasi investasi dan akhirnya membuat banyak proyek menjadi mangkrak. Hal ini tentu bisa saja menjadi tolak ukur yang kurang baik bagi investor yang ingin menanamkan modalnya. Di sini titik krusialnya, transparansi yang baik akan membentuk kredibilitas, meningkatkan kepercayaan investor dan publik. Dalam hal operasional, INA boleh saja independen tetapi harus tetap diawasi dalam batasan yang proporsional. Penunjukan dewan pengawas pun sebaiknya berasal dari kalangan profesional yang tidak terlibat politik praktis. Kejelasan aturan fiskal juga perlu dibuat. Dari mana saja dana yang akan masuk ke INA, berapa persentase yang harus dimiliki pemerintah nantinya dalam jangka panjang. Seperti diketahui, Modal awal INA adalah Rp75 triliun. Namun, porsi dan sumbernya masih belum terperinci. Kemudian ke mana dana kelolaan tersebut akan diinvestasikan pun harus dipetakan secara cermat, misal ditempatkan di emiten-emiten yang sudah terbukti memiliki reputasi baik dan informasi itu haruslah transparan. Akan sangat baik jika masyarakat diberikan informasi yang jelas agar tidak terjadi kesimpangsiuran. Masih sulit memang untuk mengukur efektivitas dari INA saat ini. Potensi keuntungan dan risiko sama-sama ada. Penilaiannya baru akan terlihat setelah diterapkan dalam jangka waktu tertentu. Kesalahan implementasi SWF negara lain bisa menjadi pembelajaran berharga bagi pengambil kebijakan. Jangan sampai lembaga baru ini menjadi "bancakan baru" bagi elite politik. Risiko akan selalu ada, namun yang terpenting adalah bagaimana meminimalkan risiko tersebut.