Responsive image

CORE Economic Outlook 2020 & Beyond: Menciptakan Peluang di Tengah Meningkatnya Ketidakpastian Global

| Outlook | Thursday, 21 November 2019

CORE Economic Outlook tahun 2020 mengambil judul “Creating Opportunities amid Rising Global Uncertainties” atau “Menciptakan Peluang di Tengah Meningkatnya Ketidakpastian Global. Hal ini karena CORE memandang ketidakpastian yang dalam beberapa tahun terakhir membayangi ekonomi global akan semakin meningkat pada tahun 2020. Jika tidak diantisipasi dengan baik, kondisi global ini berpotensi membawa dampak buruk bagi kinerja perekonomian domestik.


Padahal, tahun 2020 memiliki arti penting karena merupakan tahun awal pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dan awal periode kedua pemerintahan Jokowi. Kebijakan-kebijakan yang dijalankan pada tahun 2020 akan menentukan arah dan pencapaian pembangunan lima tahun ke depan. Sementara itu, arah dan pencapaian ekonomi dalam lima tahun ke depan sangat krusial dan menentukan tercapai atau tidaknya target jangka panjang menjadikan Indonesia negara yang maju dan terhindar dari middle income trap, sebagaimana yang disampaikan Presiden Jokowi pada pidato kenegaraannya saat dilantik pada bulan Oktober  yang lalu.
Sejumlah indikator ekonomi, seperti tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, rasio gini dan tingkat inflasi menunjukkan perbaikan yang cukup berarti dalam lima tahun terakhir. Namun, sebagian capaian yang lain masih menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan. Yang paling kentara adalah realisasi pertumbuhan ekonomi yang jauh di bawah target 7% dan defisit transaksi berjalan yang justru semakin lebar. Berdasarkan perkembangan selama 10 bulan terakhir, CORE bahkan meyakini pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 ini tidak akan mencapai 5,1%, atau lebih rendah dibanding capaian pertumbuhan tahun 2018.

Ketidakpastian Ekonomi Dunia Meningkat
Dinamika geopolitik global dan perang dagang yang selama beberapa tahun terakhir memicu ketidakpastian ekonomi belum menunjukkan tanda-tanda mereda, bahkan nampaknya semakin susah diprediksi. Memang, tekanan kenaikan harga minyak sudah mulai reda, dan banyak negara tahun ini telah melakukan pelonggaran moneter maupun fiskal, termasuk Amerika Serikat (AS) sendiri. Namun demikian, ketidakpastian perdagangan dunia justru meningkat tajam sejalan dengan semakin meluasnya perang dagang dan proteksi yang dilakukan negara-negara maju maupun berkembang. Pada saat AS masih terlibat perang dagang dengan Tiongkok, negara tersebut malah juga memicu perang dagang baru dengan sejumlah negara lainnya, seperti Uni Eropa dan India. Belum lagi perang dagang antara Jepang dan Korea dan ancaman akan terjadinya “no deal Brexit”.


Kebijakan-kebijakan kontroversial Donald Trump tersebut menyebabkan proses liberalisasi perdagangan yang sudah berlangsung selama beberapa dekade mulai berbalik arah. Kebijakan Trump yang meningkatkan hambatan perdagangan secara frontal oleh Trump kemudian menjadi model yang diikuti sejumlah negara. Setelah AS menarik diri dari Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Inggris keluar dari Uni Eropa, India pun kini menarik diri dari Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Padahal, prosesnya sudah berjalan bertahun-tahun. Hasil riset Dana Moneter Internasional (IMF) bersama National Bureau of Economic Research (NBER) bahkan memprediksi indeks ketidakpastian perdagangan dunia akan mengalami lonjakan tajam pada 2020.


Dalam laporan bertajuk “World Economic Outlook: Global Manufacturing Downturn, Rising Trade Barriers” pada Oktober 2019 lalu, IMF memprediksikan pertumbuhan ekonomi global tahun depan akan membaik dari 3,0% pada tahun ini menjadi 3,4%. Namun, angka tersebut lebih pesimis dibandingkan dengan proyeksi lembaga itu pada bulan April 2019, yakni sebesar 3,6%. Menurut lembaga itu, sumber akselerasi pertumbuhan akan didorong oleh negara-negara berkembang seperti India dan ASEAN. Sementara itu, dua raksasa ekonomi, AS dan Tiongkok diprediksi tumbuh lebih lambat. India diprediksi tumbuh dari 6,1% pada 2019 menjadi 7,03% pada 2020, ASEAN dari 4,8% menjadi 4,9%, dan AS melambat dari 2,4% menjadi 2,08%. Adapun Tiongkok turun dari 6,11% menjadi 5,8%. Namun, proyeksi IMF tersebut masih mungkin dikoreksi ke bawah mengingat tingkat ketidakpastian perekonomian global tahun depan masih sangat besar.

Perbaikan Kinerja Perdagangan Relatif Terbatas
Masih relatif lemahnya permintaan global secara umum diperkirakan akan terus menghambat kinerja ekspor Indonesia pada tahun 2020. Hal ini sudah terlihat sejak awal tahun ini dimana ekspor pada tiga triwulan pertama mengalami kontraksi hingga -8,1% secara year on year. Perdagangan dunia tahun depan sangat mungkin masih tertekan akibat meluasnya perang dagang dan kecenderungan meningkatnya hambatan perdagangan yang diterapkan oleh banyak negara.


Meskipun demikian, CORE memperkirakan kontraksi ekspor yang terjadi selama tahun 2019 akan mereda pada tahun 2020 karena sejumlah faktor. Pertama, perang dagang AS dan Tiongkok yang berkelanjutan akan semakin menekan kinerja keuangan korporasi di banyak negara, khususnya Tiongkok. Akibatnya, negara-negara tersebut terpaksa memilih alternatif sumber energi yang lebih murah, seperti batubara, untuk menekan biaya produksinya. Kedua, penaikan tarif impor minyak kedelai dari AS oleh Tiongkok akan mendorong permintaan terhadap produk substitusinya, khususnya minyak sawit. Sementara untuk India, negosiasi bilateral dengan Indonesia pada tahun ini telah menghasilkan keputusan penurunan tarif impor minyak sawit Indonesia dari 40% menjadi 37,5%, dan produk olahan sawit dari 50% menjadi 45%. Kesepakatan ini berpotensi mendorong ekspor minyak sawit Indonesia ke India, walaupun masih relatif marginal. Jadi, CORE melihat ada potensi perbaikan kinerja ekspor pada tahun 2020, namun masih sangat terbatas dan sangat bergantung pada perkembangan ekonomi global tahun depan yang masih dipenuhi ketidakpastian.


Sebagaimana yang terjadi pada ekspor, faktor global juga akan membatasi pertumbuhan impor pada tahun 2020. Sepanjang tiga kuartal pertama tahun 2019, impor telah terkontraksi sampai -9,1% secara year on year. Kontraksi paling dalam terjadi pada impor bahan baku dan penolong, yakni sebesar -11,2%. Angka ini mengindikasikan terjadi penurunan cukup besar pada aktivitas produksi di dalam negeri. Adapun impor barang modal dan barang konsumsi masing-masing terkontraksi -6% dan -8,5%.


Meski demikian, pada tahun 2020, CORE memperkirakan kontraksi impor akan jauh mereda dibanding tahun 2019. Pertama, impor bahan baku dan penolong sudah mengalami penurunan yang tajam pada tahun 2019. Dengan demikian, kalaupun kontraksi masih terjadi pada tahun depan, kemungkinan besar angkanya akan lebih moderat. Kedua, meskipun industri manufaktur diperkirakan masih akan tertekan sehingga akan menahan impor bahan baku dan penolong, pada tahun  depan, pemerintah diperkirakan masih akan mendorong pembangunan infrastruktur. Faktor inilah yang akan meredam kontraksi impor bahan baku, bahan penolong, serta barang modal, bersama dengan masuknya sejumlah investasi baru pada tahun depan. Ketiga, impor barang konsumsi akan cenderung meningkat sejalan dengan dibukanya tarif impor sejumlah bahan pangan sebagai konsekuensi kesepakatan dagang dengan sejumlah negara, seperti dengan India (gula) dan Australia (gandum, daging sapi).


Meski demikian, dari sisi migas, potensi pelemahan kembali harga minyak pada tahun 2020 akan mendorong penurunan nilai impor minyak negara-negara net-importir seperti Indonesia. Adapun nilai tukar Rupiah yang diprediksi relatif stabil tahun depan tidak akan banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekspor maupun impor.

Pertumbuhan Investasi Membaik Marginal
Setelah tumbuh melambat di tahun 2019, CORE memperkirakan investasi akan tumbuh lebih baik di tahun 2020. Di antara faktor yang mendorong pertumbuhan investasi di tahun depan antara lain, pertama, telah dilewatinya momen politik, khususnya terpilihnya presiden dan wakil presiden hasil pemilu dan telah terbentuknya jajaran kabinet baru. Kejelasan pimpinan yang baru beserta jajaran menterinya akan mendorong keyakinan investor untuk menanamkan modal di Indonesia, khususnya bagi yang sebelumnya masih ragu dan cenderung menahan investasi karena menantikan hasil dari Pemilu. Secara historis, tren peningkatan investasi cenderung terlihat setelah dilaluinya tahun-tahun pemilu, misalnya setelah tahun 2009 maupun tahun 2014.


Kedua, pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan pada tahun ini dan diperkirakan akan berlanjut di 2020 diperkirakan akan mendorong likuiditas yang pada gilirannya akan mendorong investasi di sektor riil. Ketiga, berbagai insentif perpajakan yang direncanakan pemerintah, seperti super deduction tax, mini tax holiday dan investment allowance untuk padat karya, diperkirakan akan berkontribusi dalam merangsang investasi, meskipun efek dari kebijakan ini terhadap pertumbuhan investasi di tahun depan masih relatif terbatas. Keempat, tren investasi di sektor jasa yang meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun investasi yang masuk ke sektor manufaktur justru mengalami kontraksi.


Meskipun keempat faktor di atas berpotensi meningkatkan pertumbuhan investasi di tahun 2020, daya dorongnya diperkirakan masih belum terlalu signifikan. Pasalnya, ada sejumlah faktor lain yang masih menjadi penghambat bagi laju investasi. Yang terutama adalah iklim investasi di sektor manufaktur yang belum membaik lantaran tingginya biaya produksi, biaya logistik, serta iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif. Sementara upaya deregulasi dan penyederhanaan proses perijinan melalui online single submission masih menemui banyak kendala di lapangan. Demikian pula rencana pembuatan omnibus law juga diperkirakan belum akan banyak berdampak pada investasi setidaknya untuk tahun 2020.


Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Melambat

Meskipun kinerja perdagangan dan investasi diperkirakan akan mengalami perbaikan marginal pada tahun 2020, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama ekonomi nasional justru berpotensi tertahan, atau bahkan sedikit melambat. Sejumlah faktor yang berpotensi memperbaiki pendapatan masyarakat pada tahun depan yaitu:


Pertama, potensi peningkatan harga komoditasyang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat seperti tanaman sawit. Meskipun demikian, kenaikan harga tersebut relatif tipis. Kedua, alokasi anggaran bantuan sosial direncanakan meningkat pada tahun depan yaitu: Anggaran Kartu Sembako Murah (KSM) yang meningkat 35%, Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang naik 37%, dan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) yang naik 83% dibandingkan tahun 2019. Ketiga, kenaikan upah minimum provinsi yang naik sebesar 8,5% diperkirakan juga akan berkontribusi terhadap kenaikan gaji pekerja. Meskipun demikian, dampak peningkatan UMP terhadap pendapatan riil tidak terlalu signifikan mengingat tingkat kepatuhan terhadap regulasi UMP yang masih terbatas dan kondisi perekonomian yang belum kondusif.


Keempat, penyelenggaraan Pilkada di sembilan provinsi (26,5% dari total jumlah provinsi di Indonesia) dan 261 kabupaten/kota (51% dari total jumlah kabupaten/kota di Indonesia) akan mendorong peningkatan konsumsi di daerah-daerah tersebut.  Kelima, pelonggaran kebijakan moneter pada tahun 2019 yang diperkirakan berlanjut hingga 2020 akan mulai berdampak positif terhadap sektor riil, di antaranya mendorong kenaikan permintaan kredit perumahan, kendaraan bermotor, dan modal kerja.


Sayangnya, di saat ada potensi perbaikan dari sisi pendapatan, sejumlah kebijakan pemerintah lainnya di tahun 2020 malah akan mendorong inflasi dan menggerus daya beli, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah. Beberapa kebijakan tersebut adalah: 1). Rencana penghapusan subsidi listrik golongan 900 VA, yang diprediksi akan berdampak pada 6,9 juta pelanggan. 2). Pemangkasan subsidi solar 50% dari Rp 2.000/liter menjadi Rp 1.000/liter. 3). Pemangkasan subsidi LPG 3 kg sebesar 22%, dari Rp 69.604 miliar di tahun 2019 menjadi Rp 54.435 miliar pada 2020. 4). Kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100% untuk pelanggan kategori bukan penerima bantuan iuran. Kebijakan ini akan meningkatkan pengeluaran untuk layanan kesehatan bagi 89,7 juta jiwa atau 41% dari total pelanggan BPJS.


Disamping itu, rencana kenaikan cukai rokok sebesar 23% yang akan efektif per 1 Januari 2020 juga berpotensi menaikkan harga eceran rokok hingga 35%. Kenaikan cukai rokok di tahun 2020 ini jauh lebih tinggi daripada kenaikan cukai pada tahun 2018 yang mencapai 10%. Dengan jumlah perokok yang mencapai 34% dari total penduduk Indonesia (tahun 2016), kenaikan cukai sebesar 23% akan berkontribusi signifikan terhadap inflasi volatile food. Apalagi, bagi masyarakat berpendapatan bawah, rokok adalah salah satu barang yang paling banyak dikonsumsi setelah beras.


Kenaikan biaya hidup akibat sejumlah kebijakan pemerintah di atas sangat mungkin akan berdampak lebih besar terhadap daya beli masyarakat dibandingkan dengan kelima faktor sebelumnya yang berpotensi mendorong peningkatan pendapatan. Padahal indikasi pelemahan konsumsi masyarakat sudah mulai terlihat sejak triwulan ketiga tahun 2019 ini. Sejumlah indikator konsumsi masyarakat mulai menunjukkan perlambatan yang sangat signifikan. Indeks penjualan riil yang dirilis oleh Bank Indonesia, misalnya, menunjukkan pertumbuhan yang hanya mencapai 1,4% di triwulan ketiga, setelah di triwulan pertama dan kedua mencapai pertumbuhan 9,4% dan 4,2%. Pertumbuhan kendaraan bermotor sepanjang tahun ini malah mengalami kontraksi dibanding tahun lalu. Melambatnya konsumsi rumah tangga ini berdampak pada penurunan permintaan terhadap barang-barang manufaktur. Purchasing Managers Index Indonesia yang dikeluarkan Nikkei menunjukkan kontraksi sektor manufaktur secara persisten sejak bulan Juli hingga Oktober tahun 2019, yang tidak lagi hanya disebabkan oleh penurunan permintaan ekspor, tetapi juga berkurangnya permintaan domestik.

Kebijakan Austerity Fiskal Berlanjut
Pertumbuhan belanja pemerintah hanya akan meningkat tipis dibandingkan pertumbuhan tahun ini sebagai akibat pengetatan fiskal yang akan dilakukan pemerintah pada tahun depan. Beberapa langkah efisiensi dan penghematan yang akan dilakukan pemerintah di antaranya pengurangan belanja perjalanan dinas dan rapat, serta penghematan belanja non-operasional (honor, perlengkapan kantor). Namun demikian, pertumbuhan belanja pemerintah masih akan ditopang pertumbuhan belanja pegawai yang ditargetkan tumbuh 11%, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun ini yang diproyeksikan akan mencapai 9%.


Langkah efisiensi dan penghematan belanja tidak terlepas dari potensi melesetnya target penerimaan negara tahun depan. Turunnya harga minyak yang disebabkan masih berlebihnya pasokan global akan berdampak pada potensi melambatnya penerimaan negara non pajak khususnya minyak. Sementara penerimaan perpajakan yang menyumbang 80% dari total penerimaan negara juga proyeksinya tidak lebih baik. Target penerimaan perpajakan yang dipatok tumbuh 14% tahun depan relatif berat apalagi ditengah gejala deindustrialisasi  yang tengah dihadapi oleh Indonesia. Industri manufaktur merupakan salah satu sektor penyumbang terbesar pada pos perpajakan dengan share mencapai 30% terhadap total penerimaan pajak, perlambatan industri manufaktur berdampak besar pada penerimaan perpajakan. Sampai dengan Oktober 2019 pertumbuhan penerimaan perpajakan terkontraksi hingga -2% padahal tahun sebelumnya bisa tumbuh hingga 12% seiring dengan perlambatan pertumbuhan PDB manufaktur pada Q3-2019 yang tumbuh 4,15% lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada Q3-2018 mencapai 4,35%.


Sementara pembiayaan fiskal pada tahun 2020 diuntungkan dengan pelonggaran kebijakan moneter yang telah dilakukan pemerintah pemerintah tahun ini. Suku bunga acuan Bank Indonesia telah turun sampai dengan 100 basis poin sampai dengan Oktober 2019. Penurunan ini berdampak pada turunnya imbal hasil obligasi negara yang saat ini berada pada kisaran 7%. Hal ini berarti cost of fund penerbitan obligasi tahun depan relatif lebih rendah, hal ini sebenarnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk memaksimalkan kebijakan fiskal untuk memberikan stimulus tehadap perekonomian.


Secara umum, pemerintah belum optimal dalam memanfaatkan instrumen fiskal secara optimal untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Memang betul, belanja yang dapat efek pengganda terhadap perekonomian seperti belanja modal tumbuh sampai dengan 8% tahun depan, lebih baik dibandingkan pertumbuhan tahun ini yang diproyeksikan -6%. Namun hal ini tidak akan berdampak jika tren realisasi belanja modal pada tahun depan kembali mengalami kontraksi seperti yang telah terjadi dalam 2 tahun terakhir. Begitupun dengan belanja bantuan sosial dan subsidi beberapa evaluasi perlu dilakukan pemerintah  seperi validitas data penerima subsidi dan bansos, percepatan sinkronisasi data penerima bansos data antar Kementerian dan Lembaga untuk, hingga proses monitoring penyaluran subsidi dan bansos.


Adapun rencana pemerintah untuk memberikan insentif penurunan pajak perusahaan dihadapkan pada dilema rendahnya rasio pajak di Indonesia. Saat ini tarif pajak perusahaan di Indonesia (25%) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Vietnam (20%), Thailand (20%), bahkan Malaysia (24%). Namun yang patut dicatat, ketika keempat negara ini memutuskan menurunkan tarif pajak perusahaannya, rasio pajak mereka relatif lebih tinggi dibandingkan Indonesia sehingga pemerintah perlu merancang kebijakan ini secara lebih hati-hati jangan sampai kebijakan insentif pajak ini alih-alih menambah penerimaan pajak justru akan menggerus rasio pajak ke depannya.

Dampak Pelonggaran Moneter Relatif Terbatas
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter selama tahun 2019 telah banyak mengambil kebijakan yang melonggarkan moneter mulai dari menurunkan Giro Wajib Minimum, menurunkan Loan to Value, hingga menurunkan suku bunga acuan dalam rangka mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi tanpa meninggalkan tujuan utama yaitu stabilitas  nilai tukar Rupiah.


Pada Tahun 2020, di tengah kondisi ketidakpastian yang masih tinggi akibat perang dagang dan geopolitik, arah kebijakan bank sentral global diperkirakan akan tetap dovish dan melonggarkan likuiditas. Kebijakan bank sentral global ini membuka peluang terus mengalirnya capital inflow ke Indonesia. Dengan demikian, walaupun perekonomian nasional masih akan tetap diwarnai oleh defisit transaksi berjalan, nilai tukar Rupiah pada tahun 2020 diperkirakan akan lebih stabil cenderung menguat. Selama tahun 2020, diperkirakan nilai tukar Rupiah secara rata-rata akan berada di kisaran Rp. 13.900 – Rp. 14.100 per dollar Amerika. Terjaganya nilai tukar Rupiah selanjutnya akan memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk melanjutkan kebijakannya menurunkan suku bunga acuan. Suku bunga acuan Bank Indonesia pada akhir tahun 2020 diperkirakan berada di level 4,25% - 4,50%.


Meskipun Bank Indonesia selama tahun 2020 diperkirakan akan terus menurunkan suku bunga acuan, tetapi dampaknya terhadap pertumbuhan kredit akan relatif terbatas. Meskipun membaik, pertumbuhan kredit diperkirakan akan tertahan di kisaran 10% - 12%. Dengan masih tertahannya pertumbuhan kredit, maka pertumbuhan konsumsi dan investasi juga belum akan optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan moneter Bank Indonesia diperkirakan akan lebih efektif mendorong konsumsi dan investasi apabila diimbangi oleh kebijakan fiskal yang juga longgar serta kebijakan sektor riil yang memberikan kemudahan dalam berusaha.


Dengan meningkatnya ketidakpastian ekonomi global dan masih terbatasnya dampak stimulus kebijakan dalam mendorong ekonomi domestik, CORE meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 akan berada pada rentang 4,9% - 5,1%, yang artinya sama atau bahkan sangat mungkin lebih rendah dibanding capaian tahun 2019.  Untuk dapat keluar dari kekangan stagnasi pertumbuhan ekonomi pada saat kondisi global dipenuhi ketidakpastian tentu tidak mudah. Dibutuhkan kejelian dan kreativitas menciptakan peluang-peluang agar perekonomian dapat bergerak lebih cepat. Selain pelonggaran di sisi moneter untuk mendorong likuiditas, pelonggaran dan terobosan fiskal juga berperan sangat vital dalam memacu konsumsi, investasi, dan menggerakkan sektor riil.


Indonesian Economy Beyond 2020:
Menciptakan Peluang Pertumbuhan di Tengah Ketidakpastian Global


Trend Global
Kondisi ekonomi global masih menjadi faktor yang cukup mempengaruhi performa ekonomi domestik dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi global mengalami tren perlambatan, terutama disebabkan oleh pelemahan ekonomi Cina, negara yang menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi global dalam dua dekade terakhir. Pada tahun 2020, IMF bahkan memprediksi ekonomi Cina hanya tumbuh 5,8 persen, separuh dari pertumbuhan tahun 2010 yang mencapai 10,6 persen. Penurunan ekonomi global tersebut juga disertai dengan penurunan tren perdagangan global, yang mengalami kontraksi yang lebih dalam dibandingkan pertumbuhan ekonomi, dan penurunan harga-harga komoditas baik energi, pertanian, dan logam dan mineral. Turunnya permintaan Cina sebagai konsumen utama komoditas global menjadi salah satu penyebabnya.


Kebijakan proteksionisme, terutama dari negara-negara maju, juga menyebabkan turunnya performa pertumbuhan ekonomi dan perdagangan global. Berdasarkan data WTO, meskipun tren tarif perdagangan turun secara persisten dalam satu dekade terakhir, namun jumlah non-tariff measures justru meningkat, terutama di negeri-negara maju. Tren tersebut semakin diperburuk dengan berlangsungnya perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina yang telah berlangsung sejak Maret 2018. Kebijakan perdagangan protektif juga diberlakukan oleh sejumlah negara seperti Uni Eropa dan India. India, misalnya, telah menarik diri dari kesepakatan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Negara itu sebelumnya juga telah melakukan pembatasan impor CPO dari Indonesia dan Malaysia--meskipun belakangan ia me-renegosiasi kebijakan tersebut.

Tantangan Domestik
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi domestik dalam lima tahun terakhir juga relatif stagnan di kisaran lima persen. Dari sisi pengeluaran, penyumbang pertumbuhan masih didominasi oleh konsumsi swasta, yang rata-rata menyumbang sebesar 57 persen terhadap PDB, dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang rata-rata mencapai  32 persen. Sementara itu, peran ekspor netto terhadap pertumbuhan ekonomi masih sangat kecil, bahkan beberapa tahun kontribusinya negatif. Hal ini sejalan pertumbuhan impor yang semakin tinggi di tengah pelemahan ekspor.


Salah satu penyebab rendahnya kontribusi ekspor tersebut adalah lambatnya proses transformasi struktur ekspor Indonesia yang masih didominasi oleh komoditas primer. Kondisi ini nyaris tidak berubah dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2009, kontribusi produk manufaktur menyumbang 40 persen dari total ekspor, namun pada tahun 2018, kontribusi-nya hanya naik menjadi 43 persen. Sisanya masih disumbangkan oleh barang-barang komoditas.  Pada saat yang sama, pangsa ekspor produk manufaktur Vietnam terus melesat dari 59 persen pada tahun 2009 menjadi 81 persen pada tahun 2018.


Pada saat yang sama, kerja sama perdagangan dan investasi Indonesia dengan berbagai negara, seperti JIEPA dan ACFTA, belum dimanfaatkan secara optimal. Impor dari negara-negara mitra semakin tinggi, sementara industri domestik cenderung tidak cukup kuat menghadapi persaingan tersebut. Sementara itu, penetrasi ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut relatif terbatas. Selain disebabkan oleh kebijakan negara-negara mitra yang relatif protektif melalui kebijakan non-tarif, Indonesia juga kurang aktif dalam merumuskan dan memanfaatkan perjanjian kerja sama tersebut. Jepang, Cina, dan India, misalnya, merupakan contoh negara yang mampu melakukan proses liberalisasi ekonomi secara bertahap, mengikuti kesiapan dan kepentingan industri domestik mereka. Selain itu, kebijakan non-tarif mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.


Di tengah berbagai tantangan ekonomi di atas, kebijakan fiskal dan moneter Indonesia dalam beberapa tahun justru cenderung lebih ketat. Padahal, di saat ekonomi mengalami kontraksi, kebijakan pemerintah dan bank sentral semestinya lebih ekspansif. Belanja APBN pada periode 2015-2019 hanya tumbuh rata-rata 5,7 persen, lebih rendah dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya yang rata-rata di atas 10 persen. Di sisi lain, kebijakan moneter juga relatif ketat: suku bunga acuan yang tinggi ditambah dengan penyerapan likuiditas melalui operasi moneter yang cukup agresif oleh Bank Indonesia. Pertumbuhan M1, yang merupakan komponen jumlah uang beredar yang diedarkan BI dan simpanan giro perbankan pada BI, turun tajam dari 14 persen pada akhir 2017 menjadi tiga persen pada Maret 2019. Untungnya, sejak Juli 2019 sampai Oktober, Bank Indonesia kembali melakukan pelonggaran dengan menurunkan suku bunga acuan, 7 Days Reverse Repo Rate, sebesar 100 basis points.

Menciptakan Peluang
Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan banyak negara lain, namun angka dan kualitas pertumbuhan tersebut masih cukup rendah mengingat Indonesia saat ini masih berada dalam kelas berpendapatan menengah dan berada pada fase bonus demografi. Oleh sebab itu, agar dapat keluar dari jebakan kelas menengah dan mampu mengoptimalkan bonus demografi tersebut, maka Indonesia perlu melakukan berbagai terobosan sehingga dapat tumbuh lebih tinggi dan dibangun di atas fondasi dan struktur ekonomi yang lebih solid.
Secara garis besar, terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencapai hal tersebut, antara lain:


Pertama, dari sisi permintaan, pertumbuhan konsumsi swasta khususnya kelas menengah bawah perlu didorong lebih tinggi. Berbeda dengan kecenderungan berbelanja atas tambahan pendapatan oleh kelas menengah atas relatif stagnan, kelas bawah memiliki kecenderungan berbelanja yang relatif lebih tinggi. Selain itu, peningkatan daya beli masyarakat bawah dari aspek keadilan juga akan memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan penduduk. Data Susenas BPS menunjukkan, pada tahun 2018, pengeluaran 10 persen kelompok masyarakat terbawah hanya menyumbang 2,8 persen pengeluaran nasional, sementara pendapatan 10 persen teratas mencapai 30,4 persen. Dengan kata lain, rasio pengeluaran penduduk kelas terendah dan kelas teratas mencapai 1:10. Parahnya lagi, proporsi ini nyaris tidak berubah sejak 10 tahun yang lalu. Oleh karena itu, pemerintah dapat melakukan berbagai kebijakan untuk memperbaiki kondisi tersebut. Salah satunya adalah menerapkan kebijakan fiskal yang daya mendorong daya beli seperti menjaga agar barang-barang yang masuk kategori administered prices, seperti tarif listrik, elpiji, dan iuran BPJS, tidak dinaikkan dan bahkan jika perlu beberapa di antaranya diturunkan.


Di samping itu, pemerintah perlu memberikan insentif pada sektor-sektor yang dapat menciptakan tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti memberikan insentif pembelian harga produk pertanian, dan sebagainya. Peningkatan akses pasar bagi produk-produk produsen menengah bawah (UMKM) perlu mendapatkan prioritas dari pemerintah. Dengan demikian, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya penduduk kelas bawah, tidak hanya dalam bentuk menjaga harga-harga barang dan jasa yang mereka konsumsi, namun pada saat yang sama, meningkatkan pendapatan riil mereka.


Kedua, dari sisi investasi, pemerintah perlu mendorong berkembangnya investasi-investasi domestik yang berskala kecil-menengah dengan membuka saluran-saluran baru investasi selain saluran-saluran yang bersifat konvensional melalui perbankan dan pasar modal. Pasalnya, upaya pemerintah untuk mendorong investasi yang berskala besar, terutama pada pembangunan infrastruktur yang bersumber dari pemerintah dan BUMN, memiliki kendala yang lebih besar. Beban keuangan pemerintah dan BUMN, misalnya, meningkat cukup tinggi, yang tercermin dari meningkatnya stok utang pemerintah dan tingkat liabilitas sejumlah BUMN. Sementara itu, upaya menarik investor asing juga relatif lebih sulit, dimana tipikal mereka cenderung menuntut berbagai insentif yang berpotensi mengurangi pendapatan dan kewenangan pemerintah. Selain itu, peningkatan investasi dalam skala besar, seperti yang selama ini terjadi, akan berdampak pada tingkat penyerapan tenaga kerja yang relatif rendah, mengingat tren investasi saat ini semakin padat modal dan teknologi.


Di samping itu, untuk mendukung investasi domestik, pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan yang memberikan insentif pada penurunan biaya input seperti harga energi bagi industri. Dari sisi pembiayaan industri, pemerintah perlu tegas untuk segera mewujudkan lembaga pembiayaan yang mendukung pengembangan industri yang sejalan dengan Undang-undang Industri dan regulasi lainnya. Di samping itu, kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan dan investasi harus dimaksimalkan untuk mendukung pelaku usaha yang existing. Pemerintah juga perlu membuat kebijakan konkrit untuk mencabut regulasi yang menghambat, sekaligus membuat kebijakan baru yang lebih berpihak pada penguatan struktur ekonomi nasional.


Ketiga, dari sisi sektoral, pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih serius terutama pada sektor industri manufaktur dan industri pertanian. Pasalnya, kedua sektor tersebut memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB. Selain itu, sektor industri manufaktur memiliki kemampuan menyerap lapangan kerja terbesar dibandingkan sektor lainnya. Sektor-sektor tersebut juga memiliki keterkaitan yang sangat tinggi terhadap sektor-sektor jasa lainnya. Kedua sektor tersebut, bersama dengan sektor pertambangan, juga merupakan sektor tradable. Dengan demikian, membaiknya performa sektor-sektor tersebut akan mendorong ekspor barang tumbuh lebih baik, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor.  Dampaknya, neraca pembayaran akan menjadi lebih sehat. Meningkatnya pertumbuhan produksi domestik juga akan menguatkan struktur industri baik untuk supply dan value chain industri berskala domestik ataupun yang berskala global.


Meskipun demikian, upaya untuk meningkatkan ekspor perlu ditambah dengan perluasan pasar dan pengembangan produk-produk non-tradisional, khususnya yang memiliki keunggulan komparatif, seperti pengembangan essential oils dan produk-produk turunan komoditas pertanian lainnya. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia harus mampu mengubah struktur ekspor sehingga tidak bergantung pada produk-produk yang berbasis komoditas. Pada tahun 2018, misalnya, 10 produk utama ekspor yang berbasis komoditas (HS 4 digit) menyumbang 40 persen dari total ekspor.  Salah satu langkah praktis untuk melakukan diversifikasi ekspor tersebut adalah membuat matriks produk-produk potensial, target pasar, dan strategi pemasarannya. Dengan demikian, proses, target, dan hasilnya menjadi lebih terukur.


Keempat, di saat kondisi ekonomi mengalami perlambatan seperti saat ini, pemerintah perlu menerapkan kebijakan ekspansif yang lebih berorientasi perbaikan daya beli masyarakat bawah dan penciptaan lapangan kerja. Kendala pemerintah untuk mendorong peningkatan belanja yang berdampak pada peningkatan defisit dapat diatasi dengan memperbaiki sisi pendapatan yang masih memiliki potensi yang sangat besar, termasuk membenahi kinerja Direktorat Perpajakan. Adapun dari sisi moneter, selain melakukan pelonggaran moneter, BI juga perlu mengatasi persoalan tingkat suku bunga yang tinggi, dan mengurangi besarnya porsi penyaluran dana perbankan dalam bentuk simpanan di BI dan surat-surat berharga di pasar modal. []


Jakarta, 20 November 2019

Hendri Saparini, Ph.D (Founder)
Mohammad Faisal, Ph.D (Direktur Eksekutif)
Dr. Piter Abdullah Redjalam (Direktur Riset)
Akhmad Akbar Susamto, Ph.D (Ekonom)

CORE Indonesia (Center of Reform on Economics)
Jl. Tebet Barat Dalam Raya No.76A, Jakarta Selatan

Telp    : 021 22983998
Fax      : 021 22837424
Email: [email protected]
Web: www.coreindonesia.org
Twitter: @coreindonesia