Responsive image

Pertumbuhan Tak Cukup, Kita Perlu Lompatan

| Outlook | Friday, 21 December 2018

Pertumbuhan ekonomi tahun 2019, menurut prediksi kami di Core Indonesia hanya akan mencapai 51-52 persen. Sektor manufaktur akan tumbuh lebih rendah,  4,3 %. Dari segi angka, prediksi ini hanya sedikit berbeda dari patokan Bank Indonesia yang mematok pertumbuhan 5,3 persen tahun 2019.

Namun angka itu masih jauh dari harapan ideal. Pertumbuhan segitu adalah kenyataan pahit di saat Indonesia membutuhkan lompatan ekonomi. Pertumbuhan yang landai ini menandakan kebijakan fiskal kita belum bisa merespon kondisi yang ada, untuk itu kita memerlukan atraksi yang lebih konservatif.

Kajian itu disajikan bukan untuk memancing pesimisme, tetapi untuk mengetahui kondisi sebenarnya yang terjadi di negeri ini, demi meniti jalan ke depan yang lebih baik.

Pada saat launching core 5 tahun lalu ada beberapa hal yang kita sampaikan, yaitu setumpuk pekerjaan rumah yang kita harapkan dari pemerintah. Sejujurnya telah banyak hal yang sudah dilakukan oleh pemerintah selama ini, namun lima tahun terakhir kita tidak melakukan manuver yang ekstrim sehingga apa yang kita alami saat ini hanya pertumbuhan biasa.

Dalam beberapa tahun terakhir terlihat, fundamntal ekonomi sedang diperbaiki sehingga kita masuk investment grade, peringkat doing bisnis membaik, dan infrastruktur terus dibangun dengan gencar.
Tetapi kami menuntut lebih.

Kami kembali mengingatkan pemerintah, ada pekerjaan besar selain tahun 2019. Beyond 2019, hal pertama yang paling urgen adalah memperkokoh makro ekonomi kita. Kedua, negara harus mendorong sektor riil, bukan yang lain. Faktanya sampai saat ini belum terlihat pertumbuhan yang berarti di sektor riil.

Selama ini kita melihat Indoensia dari dalam dan cukup puas dengan pertumbuhan 5,1-5,2 %. Tetapi ketika kita melihat diri kita dari jauh, yang kita butuhkan sesungguhnya bukan lagi pertumbuhan, tetapi lompatan.

Dalam lima tahun terakhir negara-negara di kawasan telah melakukan lompatan, tetapi kita bergerak terlalu landai. Padahal kalau kita ingin berada di depan, ketika yang lain melompat, kita harus melompat lebih jauh. Stabil bukanlah prestasi.

Marilah kita berintrospeksi, mengapa sektor riil tidak ada gerakannya? Kita lima tahun yang lalu belum melihat vietnam, tetapi kini mereka melakukan transformasi dan perubahan yang sifgnifikan dengan menciptakan nilai tambah yang besar pada sumberdaya yang mereka punya. Kalau Vietnam bisa, mengapa kita tidak?

Saat ini teah terjadi tren industrialisasi di hampir semua negara di dunia. Maka dari itu kita harus jelas arahnya ke mana sehingga dapat ditangkap oleh pasar. Kalau kita mau beralih ke sektor jasa seperti Jepang, maka harus ada orkestra yang dimainkan, dan itu harus bisa dibaca oleh investor dan publik.

Vietnam memulai jauh di belakang tapi mereka sukses menciptakan tren industrialisasi yang sangat jelas, sehingga hampir separuh industri mereka naik. Beginilah seharusnya kita berbuat.

Jadi apa PR kita sebenarnya apa? Kita ini membangun untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Apakah yang kita lakukan selama ini memang untuk itu? Bacalah kenyataan sepuluh tahun yang lalu. Kita memiliki tenaga kerja yang lebih terdidik, tetapi kita tidak mampu menyiapkan lapangan pekerjaan. Sekarang kita menghadapi kenyataan SDM berpendidikan tinggi yang menganggur lebih besar daripada yang berpendidikan rendah.

Ini berarti ada yang salah dengan arah pembangunan kita. Basicnya kita harus sadar apa yang sebenarnya kita miliki. Misalnya teman-teman kita petani masih berpendidikan rendah. Namun bukan berarti mereka tidak bisa meng-create produksi nasional. Kita merencanakan kebijakan semestinya sesuai struktur masyarakat kita. Bila ini tidak disadari maka 5 tahun ke depan akan menjadi beban berat.

Yang harus dilakukan, menurut kajian kami di Core, adalah mendorong produksi dan produktifitas nasional dengan memanfaatkan kemajuan tekonoogi, pasar, dan mendasarkan pada kekayaan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia (people base developemt and natural resorces based development).

Produksi harus benar-benar digeber karena pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% tidak cukup untuk menciptakan lapangan kerja yang semakin lama semakin besar kebutuhannya. Lihatlah sekarang sebanyak 4 juta orang menganggur secara terbuka, kalau ditambah dengan yang separuh menganggur jumlahnya akan lebih membengkak. Maka kita harus bisa menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar sekali agar yang menganggur dapat terserap dan angkatan kerja baru tidak tercecer.

Pada periode 2019-2024 penting untuk mendorong produksi karena itulah periode akhir dari bonus demografi yang puncaknya nanti ada di tahun 2030. Banyak negara melakukan lompatan karena berhasil memanfaatkan bonus demografinya. Kita tinggal sedikit lagi berada di titik itu, maka harus berpikir keras, berkata jujur, dan melihat data. Kalau kemudian kita meng-invite sektor-sektor yang tidak cocok, maka kita tidak hanya mengimpor bahan baku tapi juga mengimpor tenaga kerja. Itu menjadi catatan penting bagi kita.

Produksi nasional harus ditingkatkan setinggi-tingginya karena kita mempunyai market yang sangat besar. Market domestik saja sudah sangat besar apalagi kalau bisa melipatgandakan ekspor. Kalau bicara tentang import submission strategy, saya akan dimarahin banyak ekonom karena tidak megikuiti tren. Tapi itulah faktanya. Kalau kita memaksakan diri mendorong ekspor yang sekarang ini sebagia besar bahan mentah maka tidak ada nilai tambah, tidak ada tenaga kerja, dan tak berimbas pada kesejahteraan masyarakat secara signifikan.

Itulah sebabnya kenapa kita harus melakukan perubahan lebih ekstrim. Lalu mengapa harus people natural based dengan memafaatkan teknologi? Ada yang bilang sudah bukan saatnya kita bicara sektor pertanian. Lalu apa? jawabnya ya memang pertanian itu. Kita memposisikan diri jadi sawahnya global, tetapi plus teknologi.

Misalnya kalau kita bicara cabai, seberapa banyak teknologi yang kita pakai untuk mendukung petani cabai. Pada musim seperti ini para petani mangga menghadapi harga yang sangat murah untuk komoditas yang mestinya bernilai tinggi. Saya bertemu seorang investor, dia bertanya apa yang akan anda jual dengan mangga? Apakah di sini ada pengolahan mangga? Saya kaget ternyata tidak ada, padahal kita memiliki banyak sekali jenis mangga.

Maka mulai sekarang kita harus memanfaatkan teknologi dengan seluruh kekuatan yang kita miliki saat ini. Sebagai catatan, lima tahun ke depan saya berhaharap ada upaya-upaya meng-create investor di sektor baru, misalnya pada industri halal. Di bidang ini kita memiliki potensi yang luar biasa namun belum tereksplorasi dengan maksimal. Saat ini justru orang lain yang menangkap bisnis halal sebagai sektor prioritas tetapi kita sebagai pemilik pasar hanya puas dengan mengimpor produk halal.

Sektor pariwisata juga merupakan garapan menarik yang belum dioptimalkan. Presiden Joko Widodo  menekankan sektor pariwisata agar menjadi komoditas yang digarap serius. Sektor ini terbukti membuat Thailand maju dengan jumlah turis sebesar 35 juta orang per tahun, setara dengan separuh penduduk mereka, 68 juta jiwa. Gebyar pariwisata di negara itu telah menekan angka pengangguran hingga di bawah 1 persen.

Saat ini Vietnam di-drive pula oleh pariwisata dengan jumlah turis per tahun mencapai 20 juta dengan penduduk kurang dari seratus juta jiwa. Sementara kita masih berkisar antara 15 -16 juta turis per tahun dengan potensi dan keindahan alam yang luar biasa.

Pariwisata saja sebenarnya sudah cukup sebagai driver pertumbuhan ekonomi apabila pemerintah mengerahkan segala daya upaya ke satu titik itu. Dengan itu nantinya manufaktur dan industri kreatif akan diikutkan. Sebaiknya kita tidak ragu-ragu mengambil langkah ekstrim.

Selama ini saya menilai ada kesalahan kita dalam melihat potensi. Harapannya ke depan akan terbangun kerjasama yang baik antar semua elemen di negeri ini. Di era digital ini kita hanya bisa maju kalau membangun ekosistem yang didasarkan pada ekonomi kerakyatan, bukan membangun ekosistem secara vertikal.

Misalnya kalau kita mau membangun ekosistem pertanian, mengapa petani di desa tidak diikutkan?. Kalau mau membangun ekosistem financial inclussion kenapa lembaga mikro di desa tidak diikutkan? Untuk melakukan hal ini memerlukan paradigma baru, bahwa kita tak akan bisa maju tanpa ada kerjasama.

Selama sepuluh tahun terakhir perekonomian kita hanya menanjak ringan. Sebaiknya tahun 2019 tidak ada lagi kebijakan yang menyulitkan kita untuk melaksanakan agenda besar. Solusi jangka pendek itu bisa jadi jalan bagi solusi jangka panjang tapi sebaliknya bisa kontraproduktif bahkan destruktif bagi strategi jangka menegah dan panjang.

Kebijakan kita saat ini tidak terlalu protektif. Sebenarnya masih banyak ruang untuk memproteksi komoditas dalam negeri. Vietnam itu arus investasi asingnya lebih tinggi daripada Indonesia, padahal mereka tidak memperbolehkan investor punya tanah. Modal asingpun dibatasi maksimal 20 persen. Meskipun begitu Vietnam masih tetap menarik karena banyak celah lain yang bisa dinikmati investor.

Inilah PR kita bersama. Kita tentu berharap, tahun Pemilu 2019 ada kapling yang jelas antara ekonomi dan politik. Inilah early warning dari Core Indonesia, mudah-mudahan ini menjadi catatan penting sehingga kita memasuki tahun 2019 dengan optimisme yang lebih baik.